31 January 2008

21. Rahasia-rahasia Bersuci

Versi Imam Al-Ghozaly dalam Kitab “Ihya' ‘Ulumuddin”
Juz I. Nabi Saw. Bersabda :

` بـُـنِـيَ الـدِّ يْـنُ عَــلىَ الــنَّــظَـا فَـــةِ `

“Agama itu Dibina atas kebersihan”
(H.R. Ibnu Hibban bersumber Dari ‘Aisyah.r.a)

` مِــفْــتَـا حُ الـصَّــلاَ ةُ الـطَّــهُــوْ رُ `

“Kunci Sholat adalah Suci”
(H.R. Abu Daud – At-Turmudzy – Ibnu Majah)

` تَــنَــظَّــفُـوْ ا فَــإِ نَّ اْلإِ سْــلَـمَ نَــظِــيْــفُ `

“Bersihlah kamu ! Karena Islam itu Bersih”.
(H.R. Abu Daud. At-turmudzy. Ibnu Majah dari ‘Ali r.a)
Allah Berfirman :

فِــيْــهِ رِجَــلٌ يـُحِــبُّـوْنَ اَنْ يَّــتَــطَــهَّـرُوْا ط وَ الـلّـــهُ يــُحِبُّ الْــمُــطَّــهِــرِ يْـنَ

“Di dalamnya terdapat Orang-orang yang ingin Membersihkan Diri. Dan Allah menyukai Orang-orang yang bersih”. (Q.S. At-Taubah : 108)

` أَلـطَّــهُــرُ نِــصْــفُ اْلإِ يْــمَـانِ `

“Suci adalah separoh dari Iman”
(H.R. Muslim dan At-turmudzy)

Bagi mereka yang berpandangan terhadap yang Zahir-zahir. Maka mereka hanya meramaikan lahirnya Bersuci cukup dengan hanya melimpahkan Air dan menumpahkannya saja. Padahal urusan yang sangat penting sebenarnya, adalah Mensucikan Rahasia-rahasianya (Siir). Untuk itu. Janganlah merobohkan Batin dan membiarkan Batin itu berpoleskan keburukan-keburukan dan Kekotoran-kekotoran Jahiliyah Moderen ……… ………
Ingatlah ! Sejarah Adam A.s. Beliau disujuti oleh para Malaikat. Namun ia juga masih dihasut oleh Iblis La’natullah. Jika Anak cucu Adam ingin keluar dari Janabah Batiniah ini, sebagaimana asal-usul yang pertama, agar bisa bertemu dengan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Maka hendaklah ia membersihkan dan mensucikan Batiniah Hatinya. Agar ketika saatnya bertemu dengan Yang Maha Agung dan Maha Mulia. Kita telah dalam keadaan Suci dan Bersih dari Noda dan Dosa. Demikianlah anjuran para Ahli Ma’rifah.
Kemudian mereka berkata :
“Penyucian mempunyai Empat peringkat”.
1. Penyucian Zahir dari Hadats, yaitu keadaan-keadaan Badan yang tidak suci dari Najis. (Khitanan).
2. Penyucian anggota badan dari tindakan pidana dan Dosa.
3. Penyucian Hati dari Akhlaq-akhlaq tercela dan perbuatan perbuatan terkutuk. Dan keinginan yang dibenci Allah.
4. Penyucian Siir dari yang selain Allah yang merupakan perbuatan penyucian diri para “Nabi dan Shodiqiin serta Sholihiin dan Mukhlisin”.

Kebersihan dalam setiap peringkat, adalah setengah dari ‘amal yang sesuai dengan peringkatnya masing-masing. Sehingga puncak tertinggi dari ‘amal Siir adalah tersingkapnya Kebesaran dan keAgungan Allah SWT.
Ma’rifatullah tidak akan bersemayam dalam “Siir” sekiranya yang selain Allah tidak keluar darinya. Karena itu Allah Berfirman :

قُـــلِ الـلّـــــــــهُ ، ثـــمَّ ذرْ هُــمْ فِى خَــوْ ضِـــهِـــمْ يَـــلْـــعَـــبُــوْ نَ

“Katakanlah Allah ! (yang menurunkan Kitab itu) Kemudian (setelah kamu laksanakan tugasmu). Biarkanlah mereka bermain-main dengan kesesatannya”. (Q.S. Al-An’aam : 91)
Karena keduanya tidak mungkin berkumpul dalam satu Hati, sebagaimana Allah berFirman dalam Al-Qur-aan :

مَـا جَـــعَـــلَ الـلّـــــــــهُ لِـــرَ جُـــلٍ مِــنْ قَـــلْـــبَـــيْـــنَ فِى جَــوْ فِـــه

“Allah tidak menjadikan Dua buah Hati dalam rongga dada seseorang” (Q.S. Al-Ahzab : 04)

Adapun perbuatan Hati dan tujuannya, ialah harus dipenuhi Hati tersebut dengan akhlaq-akhlaq yang terpuji dan Aqidah-aqidah yang benar. Hati tidak akan bisa menyandang keduanya sekaligus. Selama Hati belum dibersihkan terlebih dahulu dari akhlaq-akhlaq yang tercela, dan bersih dari Aqidah-aqidah yang salah. Maka mensucikan Hati dari keadaan tersebut adalah tahapan pertama, yang sekaligus adalah prasyarat untuk tahapan yang kedua, yaitu pengisian Hati dengan akhlaq-akhlaq yang terpuji.
Inilah Maqam-maqam Iman. Yang pada setiap maqam terdapat peringkat. Seseorang tidak akan bisa mencapai peringkat yang lebih tinggi, kecuali setelah melewati peringkat yang paling bawah. Orang yang belum berikhtiar mensucikan seluruh anggota badannya dari segala larangan Allah. Tetapi langsung saja ia menghiasinya dengan keta’atan kepada Allah.
Maka jalan menuju kepada-Nya sangat sulit dicapai. Jangan mengira bahwa perkara semacam ini dapat dicapai dengan mudah dan santai. Sangat panjang rentang waktu dan masih banyak rintangan yang akan dilalui. Untuk itu. Renungkanlah setiap saat.

Penyucian tingkat pertama, ialah penyucian anggota Badan dari perbuatan-perbuatan ”Bashiroh” yaitu pandangan pandangan hayali yang sering muncul dalam diri seseorang. Sehingga terjadilah banyak Khayalan. Banyak Ilusi. Banyak Ilustrasi. Banyak Imajinasi dan lintasan-lintasan Hati yang sering mengganggu Taqorrub seseorang dalam menuju keyakinan yang Haqiki.
Penyucian adalah merupakan hasil Taqorrub dengan ‘amalan sunnat. Sebagaimana disebutkan dalam Hadits Qudsi:
"Senantiasa hamba-KU mendekatkan diri pada-KU dengan melakukan ‘Amalan-‘amalan sunnat, hingga AKU mencin tainya. Jika AKU telah mencintainya. Maka AKU akan menjadi Pendengarannya yang dengan itu ia Mendengar. AKU menjadi Penglihatannya, yang dengan itu ia Melihat. AKU menjadi Lisannya, yang dengan itu ia Bertutur kata. AKU menjadi Tangannya, yang dengan itu Memegang”.
Jika seorang Pesuluk yang mau sempurna, dan besar keinginannya sampai kepada tujuan yang Haqiki. Dan telah keluar dari Sangkar diri yang gelap gulita, serta bisa melewati Alam Jasad secara keseluruhan. Dan menghancurkan Gunung ke-Egoannya selumat-lumatnya. Berkat Tajalli Nuur Ar-Rububiyah. Dan tersingkap Hijab-hijab Cahaya kegelapan, maka ia akan melihat ke-Agungan Al-Haq yang Haqiki. Sehingga ia akan persis seperti kalimat Hadit Qudsi diatas.
Ketahuilah ! Manusia itu selagi ia berada di Alam Bendawi yang terdiri dari bahan dasar. Berarti ia masih berada dalam kawasan Perebutan Pengaruh. Bala Tentara Tuhan dengan Bala Tentara Iblis.
“Bala Tentara Allah berupa Belas kasih. Keselamatan. Kebahagiaan. Cahaya kesucian dan kesempurnaan. Sementara bala Tentara Iblis adalah berupa Kekufuran. Takabur. Sombong. Congkak. Menjauhi tempat yang suci. Dan lari dari kebenaran. Serta membawa kearah Neraka Jahannam.”
Jika sisi Rububiyah menang atas sisi Iblis. Maka manusia akan kembali kepada fitrah awalnya, yaitu suci. Suci itu dalam pandangan Haqikat adalah berupa Cahaya. Keselamatan. Dan Kebahagiaan.
Sebagaimana ditegaskan didalam Al-Qur-aan dan hadits-hadits Nabi Saw. bahwa selagi manusia berada di Alam ini, maka dengan kekuatan ikhtiarnya ia mampu meletakkan dirinya dibawah pengaruh salah satu dari kedua kekuatan tersebut. Tetapi jika dari awal sampai akhir fitrahnya ia tidak pernah mau terpengaruh oleh Tentara Iblis. Maka ia adalah termasuk seorang “Insan Ilaahi Kamil Mukamil”. Sekujur Tubuhnya penuh dengan cahaya. Suci dan bahagia. Hatinya adalah Cahaya kebenaran. Dan ia tidak menghadap selain kepada Kebenaran. Kekuatan Batiniah dan Lahiriahnya Bercahaya dan Suci. Ia tidak bertindak kecuali dibarengi kebenaran.
Kekuatan Iblis dengan bala Tentaranya tidak akan sanggup dan tidak mampunyai bagian dan pengaruh atas orang yang seperti ini. Karena ia Suci secara mutlak menurut kadar Manusia. Dan merupakan Cahaya murni yang beredar di Alam Allah yang sangat luas ini. Jika melihat dari kalimat dan gambaran akhlaqnya. Maka sudah pasti ia adalah Rasulullah Saw.

Adapun sebagian orang Ma’shum, tidak seperti para Nabi dan Wali Allah. Mereka bukanlah pemilik keistimewaan secara mutlak seperti gambaran diatas, karena mereka tidak terlepas dari pengaruh Setan, seperti halnya Nabi Adam A.s. berani mendekati pohon Khuldi yang telah dilarang Allah Swt.
Kendatipun kita selaku anak keturunan Adam A.s. banyak sekali mendapat Hikmah dari seluruh kejadian ini. Dan wajib untuk memperjuangkan fitrah asli yang ada pada kita. Sebab jika cahaya fitrah sudah tercemar dengan segala kotoran Lahiriah dan Batiniah, sebatas mana yang tercemar itu, maka dengan sendirinya sejauh itu pula ia akan menjauh dari hamparan “Al-Qurb” (Yang Maha Dekat). Dan terpisah dari Hadirat Yang Maha Suci. Yang Maha Agung dan Maha Mulia.
Maka ia akan menjadi Tawanan Iblis dan Setan. Zahir dan Batinnya berada dibawah kekuasaan dan pengaruh mereka. “Setan akan menjelma ke dalam Hatinya kemudian ke dalam Pendengarannya dan ke dalam Penglihatannya. Serta Ke dalam Tangan dan Kakinya. Maka seluruh tindakannya di bawah pengaruh Iblis dan Setan”.
Jika seseorang sampai kepada maqam demikian ini, maka ia termasuk ke dalam golongan orang yang celaka. Karena ia tidak akan dapat menyaksikan kebahagiaan yang dijanjikan Allah Jalla Wa’azza.
Jika ia berhasil bertahan dalam maqam pertama, kemudian berikhtiar mendekatkan diri kepada Allah SWT menurut kadar kesiapannya, maka tanpa disadarinya ia telah masuk ke peringkat yang kedua dalam penyucian akhlaq. Tarikan-tarikan Ilaahiyah Ruhaniyah akan menariknya seperti magnet, dan ia akan asyik dengan puncak Tajalli Al-Asma’ lalu mendo rongnya keperingkat yang lebih tinggi. Sungguh. Tarikan Yang Maha Pengasih mengalahkan perbuatan Jin dan Setan serta Manusia yang bermuara kepada Iblis.
Seperti disebutkan dalam hadits : “Setiap kali Manusia mampu mendekatkan diri (Taqorrub) kepada Allah. Berarti ia ber-Akhlaq dengan Akhlaq-akhlaq Rububiyah”. Dan Nabi Saw. pernah bersabda : “Tuhan-ku telah mendidikku dengan sebaik-baik pendidikan”. Demikian tingkat pertama bagi pesuluk yang mau menekuni ajaran yang baik menurut pakar Ahli Tasawwuf dan Ahli Ma’rifah. Kuncinya adalah berakhlaq dengan Sunnah-sunnah Allah dan Sunnah-sunnah Nabi Muhammad Saw. serta melaksanakan segala perintah Allah dan Rasul-Nya.
وَ ا تــبــعْ مَا يُـوْحى اِلَــيْـكَ مِنْ رَّ بّـكَ ط اِ نَّ الـلّـــهَ كَـانَ بــمَا تــعْــلَــمُـوْ نَ خَـبــيْــرً ا ` وَ تــوَ كَّــلْ عَــلَى الـلّـــــهِ ط وَ كَــفى بِـالـلّــــهِ وَ كِـــيْــلاً `
“Dan ikutilah apa yang di Wahyukan Tuhan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu lakukan”. “Dan bertaqwalah kepada Allah. Cukuplah Allah Pemelihara bagimu”. (Q.S. Al-Ahzab : 2 - 3)

Peringkat kedua. Dalam menata diri agar menghiasinya dengan akhlaq-akhlaq utama dan perilaku mulia. Jika hal demikian ini bisa bertahan selama mungkin, sehingga datang Natijah dari Allah untuk menelusuri jalan yang lebih tinggi. Insya Allah ia akan dilambari oleh Nuur Ilahiyah dari Allah yang sering diharap-harapkan oleh seluruh Ahli Ma’rifah.
Peringkat ketiga. Ialah sanggup memelihara kesucian Hati, yakni Taslim (penyerahan) Hati hanya kepada Allah. Setelah Taslim. Insya Allah Hati akan bercahaya. Bahkan Hati tersebut akan menjadi bagian dari Alam Nuur dan Derajatnya adalah Nuur Ilahiyat yang di-Anugerahkan Allah kepadanya.

Wahai Insan !!!
Setiap kali pekerjaan itu mulia. Maka sangat sulit untuk menempuhnya. Dan panjang pula liku-likunya. Serta banyak pula rintangan-rintangannya. Maka janganlah kita mengira bahwa semua urusan bisa digapai dengan cita-cita dan keinginan belaka. Tidak ! Tidak ! Tidak !
Memang. Orang yang pandangannya Buta dari perbedaan dan tidak memahami tingkat-tingkat Kesucian Derajat akhir, maka akan ia habiskan seluruh waktunya dalam Bersuci dengan hanya membuang air besar dan kecil. Kemudian mensucikan Pakaian. Dan membersihkan yang lahir-lahir saja. Serta mencari air yang banyak. Karena perkiraannya yang disertai khayalan akalnya. Bahwa yang Kotor itu pasti Batil. Dan wajib dicuci sebersih-bersihnya, sehingga mulia dipan dang orang banyak. Mereka lalai.
Melihat perilaku orang-orang yang terdahulu. Bahwa orang-orang dahulu itu. Menghabiskan seluruh waktunya dengan kesungguhannya. Bagaimana caranya agar bisa mensucikan “Hati”. Mereka Tertegun dan Ngeri. Apabila Syari’atnya berlepotan dengan kotoran-kotoran yang terletak didalam Hati, seperti, Sombong. ‘Ujub. Riya’. Takabur. Nifaq. Bodoh alias Jahiliyah Modern. Begitu mereka Belajar lalu mereka laksanakan Sholat. Mereka terus-menerus belajar merangkum Hati agar bersih dan suci dari segala kotoran yang bersarang di dalam Hatinya. Dan mereka sangat Resah dan Gelisah. Mereka masih saja Cemas. Apakah ‘Amalku ini diterima ? atau malah sebaliknya ? Dan mereka dengan harap-harap Cemas. Memohon kepada Allah Jalla Wa’azza. Semoga diberi Bimbingan menuju kejalan yang baik ………
Dan mereka menyiapkan Fikiran untuk mencari hal-hal yang kecil dan samar-samar (Subhat) bagi orang awam.
Menurut pengalaman orang dahulu. Jika kita disibukkan mencari hal-hal yang di-Ridhoi Allah SWT. maka kita dapat menyibukkan Hawa-Nafsu kita yang sanagat banyak menghendaki agar kita banyak melaksanakan ‘Amalan-‘amalan Mubah. Yang lahir dari dalam diri sendiri. Maka dengan mencari kesibukan yang berlawanan dengan kehendak nafsu itu. Maka akan terhalang pekerjaan ma’siat walaupun sangat kecil. Karena Ma’siat dan keinginan Nafsu itu, walaupun kecil, ia akan menyibukkan pemilik fikiran itu.
Hendaklah kita Fikirkan contoh-contoh diatas tersebut. Semoga kita selamat dari ‘Amalan yang tidak ada nilainya di Sisi Allah SWT. dan perhitungkanlah di dalam memelihara Usia yang hanya tinggal sedikit lagi. Dengan ‘Amalan yang baik. Karena Kebersihan ‘Amalan Zahir itu, akan mendorong keImanan yang Batin.

Kesucian zahir itu ada tiga bagian

1. Suci dari Kotoran.
2. Suci dari Hadats besar dan kecil.
3. Suci dari kelebihan-kelebihan Tubuh. Yang bisa mengotori diri kita dari sesuatu, umpamanya Berkhitan. Memotong kuku Tangan atau Kaki. Mencukur Bulu di Ketiak. Bulu di Kemaluan. Dan menggunting Rambut di kepala.
Itu semua wajib menjadi perhatian kita. Karena hal tersebut adalah Anjuran Rasulullah Saw. Demikian kita petik dari Kitab “Ihya' ‘Ulumuddin” Juz I halaman : 411
Terjemah Drs. H. Moh. Zuhri

29 January 2008

20. Hal Istinja'

Arti Istinja’, yaitu bersuci dari buang air besar maupun buang air kecil. Istinja’ dapat dilakukan dengan salah satu dari Tiga cara :
1. Membasuh tempat keluarnya Najis dengan Air sampai bersih betul. Dengan Dalil :

عَنْ عَـطَاءِ بْـنِ أَبِـى مَـيْـمُوْ نَـةَ قَالَ سَمِعْتُ أَ نَّسَ بْـنِ مَلِـكْ يَـقُـوْلُ كَانَ رَسُـوْ لُ الـلّــهِ صَـلَّى الـلّــهُ عَـلَــيْهِ وَسَـلَّـمَ : إِذَادَخَـلَ الْـخَـلاَءَ أَحْـمِـلُ أَ نَـاوَغُـلاَ مِ مَعِـيْ نَـحْـوِى إِذَاوَ ةً مِنْ مَـاءٍ فَــيَـسْــتَــنْـجِيْ بِـالْــمَـآءِ

“Dari ‘Atha’ bin Abi Maimunah r.a. katanya : “Aku mendengar Anas bin Malik r.a. berkata : “Biasanya jika Rasulullah Saw. pergi ke tempat buang air. Maka saya bersama seorang Pemuda lainnya membawakan sebejana Air untuk dipakai oleh Beliau untuk bersuci”. (H.R. Ibnu Majah)

عَـنْ قَـــتَـادَ ةْ عَنْ مُـعَاذ ةَ عَنْ عَا ئِــشَـةَ أَ نَّــهَا قَالَـتْ مُرْنَ أَ زَوَ اجَـكُـنَّ أَنْ يَّـسْــتَــطِــبُـوْا بِـالْـمَاءِ فَـإِ نّـِـي أَ سْــنَــحْــيِـــيْـــهِـمْ مِــنْــهُ أَنَّ رَسُـوْ لُ الـلّــــــــــــهِ صَــلَّى الـلّـــــــهُ عَــلَــيْــهِ وَ سَـــلَّــمَ كَانَ يَــفْـــعَـــلُــــهُ

“Dari Qatadah dari Mu’az. Katanya ‘Aisyah r.a. pernah berkata : ”Perintahkan Suami-suami kamu untuk bersuci dengan Air. Sesungguhnya saya malu untuk menyampaikannya kepada mereka, yang biasa dilakukan Rasulullah Saw. ketika Bersuci”. (H.R. Sunan An-Nasa’iy halaman : 21)

2. Membersihkannya dengan Batu atau benda kesat dan keras lainnya. Sekurang-kurangnya dengan Tiga buah Batu, jika tidak ada Batu, dapat dipergunakan benda-benda yang lain, asalkan kesat atau keras. Dengan Dalil:

عَنْ هِـلاَ لٍ بْـنِ يَـسَافٍ عَنْ سَـلَـمَـةَ ابْـنِ قَــيْسٍ عَنْ رَسُـوْلُ الـلّـــهِ صَـلَّى الـلّــهُ عَلَــيْهِ وَسَـلَّـمَ قَالَ : إِ ذَا اَسْـتَـجْـمَرْتَ فَـأَوْ تَــرُ

“Dari Hilal bin Yasaaf. Dari Salamah bin Qais. Rasulullah Saw. bersabda : “Jika kamu Bersuci. Maka Bersucilah dengan jumlah yang ganjil”. (H.R. .An-Nasa’iy)

Larangan Bersuci kurang dari Tiga Batu

عَنْ عَــبْدٍالـرَّحْمـنِ بْـنِ يَــزِ يْـدُ عَنْ سَـلْـمَـنِ قَالَ : قَـالَ لَــهُ رَجُــلٌ إِنْ صَاحِـبَـكُـمْ ، لَــيُـعَـلِّـمُـكُـمْ حَــتَّى الْخِـرَ اءَ ةِ قَالَ أَجَـلْ نَــهَانَـا أَنْ نَــسْــتَـــقْــبِــلَ الْـقَــبْــلَــةَ بِـخَائِــطِ أَوْ بَـوْ لِ أَوْ نَــسْــتَـــنْــجِـــــيَ بــإِ يْـمَا نِــنَا أَوْ نَــكْــتَــفِـيَ بِـأَ قَـلَّ مِنْ ثَــلاَ ثَــةِ أَحْـجَارِ

“Dari ‘Abdur-Rahman bin Yazid. Dari Salman. Katanya ada seorang Yahudi berkata kepada (Salman) : “Sesungguhnya Sahabatmu (Muhammad) senantiasa mengajarkan padamu, sampai-sampai cara buang air dengan duduk sekalipun”. Jawab Salman : “Benar ! Beliau melarang kami untuk menghadap ke-Qiblat, baik diwaktu buang hajat maupun kencing. Dan (harus) Bersuci dengan tiga buah Batu”. (H.R. An-Nasa’iy)

Larangan Bersuci dengan Tahi Hewan yang sudah kering dan Tulang.

عَـنْ أَ بِـى صَالِـحْ عَنْ أَبِـى هُرَ يْـرَ ةَ عَنِ الـنَّبِـيَّ صَـلَّى الـلّـهُ عَلَــيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : إِ نَّـمَا أَ نَـا لَـكُـمْ مِـثْــلَ الْـوَ الـِدِ أَعَـلِّـمَكُـمْ إِ ذَاذَهَبَ أ حَـدُ كُــمْ إِلَى الْـخَــلاَ ءِ فَـــلاَ يــَسْــتَـــقْــبِــلَ الْــقِـــــبْــلَــةَ وَ لاَ
يـَسْــتـدْ بــُرْهَانَ وَ لاَ يـَسْـتَـــنْــجِ بـِـيَــمِـيْــنِـهِ وَ كَانَ يَـأ مُـرُ بِـثَــلاَ ثَـــةِ أَحْجَارِ وَ نَــهَـى عَنِ الـرَّ وْ ثَ وَ الـرِّ مَّـةِ

“Dari Abu Shaleh. Dari Abu Hurairah r.a. Dari Nabi Saw. Bahwa Beliau Bersabda :“Sesungguhnya saya bagi kamu adalah seperti Ayah yang mengajar kan sesuatu kepada kamu, yaitu jika salah seorang dari kamu masuk kekakus / WC. Janganlah kamu menghadap ke Qiblat. Jangan pula membelakangi Qiblat. Dan jangan Bersuci dengan Tangan Kanan” Dan Beliau menganjurkan Bersuci dengan Tiga Batu. Serta melarang Bersuci dengan kotoran Hewan dan Tulang”. (H.R. An-Nasa’iy)

3. Dibersihkan dengan Batu terlebih dahulu. Kemudian baru dibasuh dengan Air. Dengan Dalil :

وَعَنِ ابْـنِ عَـبَّاسٍ رَضِيَ الـلّــهُ عَـنْـهُـمَـا إِنَّ الـنَّـبِـيَّ صَـلَّى الـلّـــهُ عَـلَــيْـهِ وَسَـلَّمَ سَـأَلَ أَهْلَ قُــبَاءٍ،قَالَ: إِنَّ الـلّـــهَ يـُثَــنِى عَـلَـيْـكُمْ فَـقَالُـوْ ا: أَ نَـا نَــتَّــبِـعُ الْحِـجَارَ ةَ الْــمَاءَ

“Dari Ibnu ‘Abbas r.a. Bahwasanya Nabi Saw. pernah bertanya kepada penduduk Quba’. Seraya Bersabda : “Sesungguhnya Allah pernah memuji kamu sekalian”. Mereka menjawab : “Sebab kami setelah ber-istinja’ dengan Batu, lantas kami bersihkan dengan Air“. (H.R. Bazaar dengan Sanad lemah asalnya dari Abu Daud)
Kalimat diatas dikutip dari Kitab : “Bulughul Maram”
Selanjutnya kita perhatikan Hadits dibawah ini :

عَنْ إِبْـنُ عَـبَّـاسٍ قَالَ مَرَّرَسُوْلُ الـلّــهِ صَـلَّى الـلّــهُ عَـلَــيْـهِ وَسَـلَّمَ عَـلَى قَــبْـرَ يْـنِ فَــقَــلْ أَ مَـا إِ نَّـــهُـمَا لَــيُـعَـذَّ بَـانَ وَ مَـا يُــعَـذِّ بَـانِ فِى كَــبِــيْـرٍ أَ مَّـا أَحَـدُ هُمَا فَـكَا يـَـمْـشِ بـالـنَّـمِـيْـمَـةِ وَ أ مَّا اْلأَخِـرُ فَــكَانَ لاَ يــَسْـتَــتِــرُ مِنْ بـَـوْ لِـهِ قَـالَ فَـدَ عَابِـعَسِــيْـبِ رَطْبٍ فَـشَـقَّـهُ بِـاَ ثْــنَــيْـنِ ثُـمَّ غَرَسَ عَـلَى هَذَاوَ احِدًاوَعَلَى هَذَاوَاحِدً ا ثُـمَّ قَالَ لَــعَــلَّــهُ أَنْ يـُخَــفَّـــفَ عَــنْــهُــمَـا مَالَــمْ يَــيْــبَــسَـا

“Dari Ibnu ‘Abbas r.a. katanya sewaktu Nabi Saw. melewati Kuburan yang masih baru. Beliau berkata : “Bahwasanya ada dua orang sedang disiksa, oleh karena kesalahan yang biasa dianggap sepele (enteng). Salah satu dari keduanya, adalah Tukang Fitnah. Dan yang lainnya. Tidak beristinja’ dari Kencingnya” Kata Ibnu ‘Abbas r.a. selanjutnya : “Kemudian Nabi Saw. meminta Pelepah Kurma, lalu dibelah menjadi dua. Kemudian Beliau pancangkan diatas Kuburan masing-masing. Sambil Beliau berkata : “Mudah-mudahan keduanya dapat ketenangan selama Pelepah Kurma ini belum kering”. (H.R. Shohih Muslim Juz I hal 202)

وَعَنْ أَبِـى هُـرَ يـْرَ ةَ رَضِيَ الـلّــهُ عَــنْـهُ قَالَ : قَالَ رَسُـوْ لُ الـلّــــهِ صَــلَّى الـلّـــهُ عَـلَــيْــهِ وَسَــلَّـمَ : إِ سْــتُــتََـرِهُوْ ا مِنَ الْـبَـوْ لِ فَــإِنْ عَا مَّــةَ عَـذَابِ الْـقَــبْـرِ مِــنْــهُ

“Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata : “Rasulullah Saw. Bersabda : “Bersihkanlah Kencing. Sebab kebanyakan siksa Kubur (terjadi) dari padanya”.
(H.R. Daroqhutny)

Memperhatikan dengan serius beberapa Sunnah-sunnah Rasulullah Saw. diatas tersebut. Maka para‘Ulama dahulu sangat menganjurkan agar setiap orang Muslim yang ber-Istinja’, agar ber-Istibra’. (yakni berdehem-dehem) agar supaya semua air kencing yang masih tertinggal pada Kelamin bergerak keluar memancar-mancar. Oleh karena tekanan Istibra’ tersebut. Dan ber-Istibra’ tersebut diharuskan Tiga kali, sehingga benar-benar bersih air seni yang tinggal di Badan. Dalam hal ini dapat Tuan dan Puan buktikan sendiri. Manakala buang air kecil maupun besar. Jika Tuan dan Puan buat demikian, maka akan keluar semua air yang masih tertinggal disana. Terutama bagi orang yang sudah berkeluarga. Dan menurut ‘Ulama yang teliti. Inilah Air seni yang selalu tinggal di Badan, jika orangnya bangkit berdiri maka akan keluar menetes ke celana dalam. Dan termasuklah percikan Air seni yang melekat pada Paha dan Betis atau pada Kaki. Dan menurut pandangan, manusia yang seperti inilah yang disiksa sesuai dengan Hadits Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Muslim di atas.
Namun sangat kita sayangkan. Kepada para Pendidik jaman sekarang. Mereka sangat kurang memperhatikan yang bersangkutan dengan masalah Air seni ini. Dan mereka sering menganggap enteng dengan keberadaan Air seni yang tinggal dan melekat di Badan, tanpa di sadari oleh yang punya badan. Maka dengan sendirinya mereka tidak menganjurkan kepada Anak didiknya untuk memperhatikan Hadits-hadits yang berkaitan dengan Air Kencing yang menetes.
Dan telah kita baca bersama berbagai hadits yang menyatakan bahwa masalah tidak bersih Badan dari Kencing. Maka mereka akan tersiksa didalam kuburnya.

Memberi Salam kepada orang yang sedang buang air atau sedang berada di Jamban/WC

عَـنْ نَـافِـعْ عَـنُ بـْنِ عُـمَـرَ قَـالَ مَـرَّ رَجُـلٌ عَـلَى الـنَّـبِـيَّ صَـلَّى الـلّــهُ عَـلَــيْـهِ وَسَـلَّـمَ ، وَ هُـوَ يَــبُـوْ لُ فَـسَـلَّـمَ عَـلَــيْـهِ فَـلَـمْ يــُـرَ دُّ عَـلَــيْـهِ السَّـــلاَ مُ

“Dari Nafi’. Dari Ibnu ‘Umar r.a. katanya :”Pernah seseorang lewat, padahal Nabi Saw. sedang buang Air kecil, lalu orang itu memberi Salam kepada Beliau, tetapi tidak dijawab salam orang tersebut”.
( An-Nasa’iy. Dalam Kitab Shohihnya halaman 17)

Agar Manusia Muslim jangan salah langkah dalam hal-hal yang kecil ini. Maka sangat di anjurkan untuk belajar sampai kepada masalah yang sekecil-kecilnya di dalam Agama. Itu semua untuk menjaga agar jangan serampangan dalam melaksanakan Ibadah. Hanya di karenakan kelalaian yang sedikit.
Dengan kelalaiannya tersebut. Maka semau-mau mulut saja menyalahkan orang lain. Atau ia akan membawa orang lain tersesat dalam melaksanakan Ibadah. Dan di suatu saat ia akan menyalahkan dirinya sendiri. Kemudian frustasi dan berlanjut dengan perbuatan yang dilarang oleh Agama. Setelah kita semua tahu bahwasanya memberi Salam ketika orang sedang di dalam WC adalah tidak baik. Maka jangan kita lakukan perbuatan yang merendahkan Agama Islam tersebut.

Fardhu dan Syarat Istinja’

1. Menghilangkan Warnanya.
2. Menghilangkan Baunya.
3. Menghilangkan Rasanya.

Rukun Istinja’ itu terbagi Empat
1. Orang yang Ber-Istinja’.
2. Yang di-Istinja’kan, yaitu Kubul dan Dubur.
3. Yang di-Istinja’kan itu, adalah sesuatu yang ke luar dari dua jalan yang kotor. Kubul dan Dubur.
4. Ber-Istinja’ itu. dengan Air atau Batu.

Kesempurnaan Istinja’ itu terbagi Dua
1. Suci.
2. Ikhlash.
Apabila hendak masuk kedalam Kakus/WC. Hendaklah dahulukan Kaki yang sbelah Kiri. Dan berdo’a :

عَـنْ أَ نَسٍ قَالَ : كَانَ رَسُـوْ لُ الـلّـــــــهِ صَــلَّى الـلّـــــــهُ عَــلَــيْــهِ وَ سَــلَّــمَ ، إِ ذَ ا دَخَــلَ الْـخَــلا ءِ، اَلـلّـــــــهُـمَّ إِ نِّـى أَ عُـوْ ذُ بِـكَ مِـنَ الْـخُـــبُـثِ وَ الْــحَــبَا ئِـثْ

“Dari Anas r.a. ia berkata :“Apabila Rasulullah Saw. masuk kekamar kecil. Beliau berkata : “Ya Tuhan-ku. Sesungguhnya saya memohon perlindungan kepada-Mu, dari Godaan Setan Lelaki dan Setan yang Wanita”. (H.R. Tujuh Imam)

عَنِ الْحَكَـمِ الْـبَصِـرِ يْ، عَـنْ أَبـِـى إِ سْـحَـقْ ، عَـنْ أَِبِـى حُـجَــيْــفَــةْ، عَـنْ عَـلِـيّ ، فَالَ : قَالَ رَسُـوْ لُ الـلّــــهِ صَـلَّى الـلّــــهُ عَــلَــيْــهِ وَسَــلَّـمَ، سَــتْـرُمَ بَـيْـنَ الْـجِنِّ وَعَـوْ رَ اتِ بَــنِــيْ آ دَ مَ ، إِذَ ادَخَــلَ الْـكَـنِــيْـفِ، أَنْ يَّــقُـوْ لُ : لبـسْـــمِ الـلّـــــهِ ..

“Dari Al-Hakim Al-Bashri. Dari Abu Ishaq. Dari Abu Hujaifah r.a. dari ‘Ali r.a. “Rasulullah Saw Bersabda : Penyekat (batas) antara Jin dan Aurat Bani Adam. Bila ia masuk WC. Adalah mengucapkan Bismillah ………
(H.R. Terjemah Sunan Ibnu Majah. Juz I halaman : 242)

Apabila membasuh tempat keluarnya Najis, hendaklah dengan Tangan sebelah Kiri. Dan disiram dengan Air hingga bersih betul. Kemudian membaca Do’a :

الـلّـــــهُمَّ طَــهَِّـرْ قَــلْـبِـيْ مِـنَ الـنِّــفَاقِ وَحَـصِّـنْ فَـرْجِيْ مِـنَ الْــفَــوَ ا حِـشْ

“Ya Allah. Bersihkanlah Hatiku dari (perbuatan) Nifaq. Dan peliharakanlah Farajku dari segala kekejian”.

Telah Ber-Ijma’ para ‘Ulama atas kebolehan Berdo’a dalam Hati bagi orang-orang yang sedang Berhadats atau Berjunub maupun didalam keadaan Nifas dan Wiladah.

حَــدَ ثَــنَا هَـرُوْنُ بْـنُ إِ سْـحَاقِ، ثَــنَا عَــبْـدُالـرَّحْــمـنِ الْـمُـحَارِ بِـيْ، عَـنْ إِسْــمَا عِــيْــلَ بْـنِ مُـسْــلِــيْـمُ ، عَـنِ الْـحَـسَـنِ وَ قَــتَادَ ةَ ، عَـنْ أَ نَـسٍ بْـنِ مَــلِـكِ قَـالَ كَانَ الـنَّـبِــيَّ صَــلَّى الـلّـــــهُ عَــلَــيْــهِ وَ سَــلَّـمَ ، إِ ذَ ا خَـرَ جَ مِـنَ ا لْـخَــلاَ ءِ قَـا لَ :
أَ لـحَــمْـدُ لـِلّـــــهِ الَّــذِيْ أَ ذْ هَبَ عَــنِّـى اْلأَ ذ ى عَـافَــنِــيْ


“Mewartakan kepada kami Harub bin Ishaq. Mewartakan kepada kami ‘Abdur-Rahman bin Al-Muharibiy dan Isma’il bin Muslim. Dari Al-Hasan dan Qatadah dari Anas bin malik r.a. ia berkata :“Adalah Nabi Saw. ketika keluar dariKakus/WC. Beliau berucap :”Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan suatu penyakit dariku. Dan telah menyembuhkan aku”.
(H.R. Sunan Ibnu majah Juz I halaman : 244)
(Dalam Kitab Al-Azkar Hadits terletak di Halaman 14)

Mengingat Allah ketika sedang di Jamban/WC

حَـدَ ثَــنَا سُــوَ يْــدِ بْـنِ سَـعِـيْـدِ بْـنِ زَ كَــرِ يَـا بْـنِ أَ بِـيْ زَ ا ئِـدَ ةْ عَـنْ أَ بِــيْــهِ عَـنْ خَالِــدِ بْـنِ سَــلَــمَــةَ عَـنْ عَــبْـدِ الـلّـــــهِ الْـــبَــهِـى عَـنْ عُـرْ وَ ةَ عَـنْ عَائِـــشَــةَ، أَنَّ رَسُـوْ لُ الـلّـــــهِ صَــلَّى الـلّـــــهُ عَــلَــيْــهِ وَ سَـــلَّـمَ : كَانَ يَــذْ كُـرُ الـلّـــــهَ عَــلَىكُـلِّ أَحْـيَـانِــهِ

“Mewartakan kepada kami Suwaid bin Sa’id. Mewarta kan kepada kami Yahya bin Zakariya bin Abu Zubaidah dari ayahnya. Zakariya dari Kholid bin Salamah dari ‘Abdullah Al-Bahiliy. Dari ‘Urwah. Dari ‘Aisyah r.a. Bah wasanya Rasulullah Saw. selalu mengingat Allah (Zikir) kepada Allah di setiap waktu (dan saat)”. (H.R. Terjemahan Sunan Ibnu Majah Juz I Halaman : 246)

Syarat-syarat Istinja’ dengan batu / benda keras.
1.
Batu atau Benda itu keras dan bersegi. Dan harus suci serta dapat membuang / membersihkan Najis.
2. Batu atau Benda itu tidak bernilai (dihormati) oleh Manusia maupun Jin. Misalnya Batu Masjid. Atau bahan Makanan seperti Tulang memang khusus untuk makanan para Jin.
3. Sekurang-kurangnya dengan Tiga kali sapuan dan sampai bersih betul.
4. Najis yang mau dibersihkan itu belum kering.
5. Najis itu tidak pindah tempat dari keluarnya, misalnya pindah ke paha atau pindah ke kaki dsb.
6. Najis itu belum bercampur dengan Benda lain, walaupun Benda itu suci, misalnya tidak terpercik oleh air kepadanya.

Hal-hal di atas tersebut dapat kita lihat pada Hadits yang telah tertuang pada Halaman terdahulu. Dan dapat pula Tuan renungkan segala isi Hadits tersebut. Lalu bertanya kepada yang Mustahaq.
Semoga pelajaran yang sedikit ini, bisa memadai untuk mengingatkan kita semua dalam masalah Beristinja’ dengan Benda, seperti Batu atau Daun yang kesat.

Perhatikan Hadits Anjuran Rasulullah Saw. dalam bersuci :

عَـنْ أَبِـى هُــرَ يْــرَ ةَ عَـنِ الـنَّـبِــيِّ صَــلَّى الـلّـــــهُ عَــلَــيْــهِ وَ سَـــلَّـمَ قَالَ : لاَ يـَــبُـوْ لَـنَّ أَحَــدُ كُـمْ فِى الْـــمَآءِ الـدَّ ا ئِـــمِ ثُـــمَّ يـَــغْــسِـــلُ مِـــنْـــهُ

“Dari Abu Hurairah r.a. katanya : “Bersabda Rasulullah Saw. “Janganlah buang air kecil salah seorang diantara kamu pada air yang tergenang, kemudian ia mandi di dalamnya”. (H.R. Muslim Juz I)

عَـنْ عَـا ئِــشَــةَ قَـالَتْ ، قَـالَ رَسُــوْ لُ الـلّـــــهِ صَــلَّى الـلّـــــهُ عَــلَــيْــهِ وَ سَــلَّـمَ : عَــشْــرٌ مِـنَ الْــفِــطْــرَ ةِ قَــصُّ الــشَّا رَبِ وَ إ ِعْـــــفَـاءُ الـلِّـحْــيَــةِ وَ الـسِّــوَ اكِ وَ اسْــتِــنْــشَاقُ الْــمَاءِ وَ قَـصُّ اْلأَ ظْــفَارِ وَ غَـسْــلُ الْــبَــرَ اجِــمِ وَ نَـــتْــفُ اْلإِ بْــطِ وَحَــلْــقُ الْــعَـانَـــةِ وَ ا نْــتِــقَاصُ الْــمَاءِ قَالَ زَ كَــرِ يَّـاءِ قَـالَ مُــصْــعَـبٌ وَ نَــسِــيْـتُ الْــعَا شِــرَ ةَ إِ لاَّ أَنْ تَــكُــوْ نَ الْـــمَــضْــمَــضَــةَ

“Dari ‘Aisyah r.a. katanya : “Bersabda Rasulullah Saw : “Sepuluh macam dari tuntutan agama yaitu : Menggunting kumis, memelihara janggut, membersihkan gigi, membersihkan lobang hidung, mengerat kuku, membersihkan ruas-ruas jari, mencabut bulu ketiak, mencukur ari-ari, ber istinja’, dan berkumur-kumur”. (H.R Muslim Juz I Hal : 192. Terjemah H.A Razaq. Penerbit Al-Husna Jakarta).

عَنْ سَــعِـيْـدِا بْـنِ الْـمُـسَــبِـبْ عَـنْ أَ بِـى هُـرَ يْــرَ ةَ عَـنْ رَسُـوْلُ الـلّـــهِ صَـلَّى الـلّـــــهُ عَــلَــيْــهِ وَ سَــلَّـمَ : قَـالَ : أَ لْــفِــطْــرَ ةِ خَــمْــسُ اْلإِ خْـــتِـــتَـانُ وَ اْ لإِ سْـتِـحْـدَ ادُ
وَ قَصُّ الـشَّــرَ بِ وَ تَـــقْــلِــيْــمُ اْلأَ ظْــفَـارِ وَ تَــنْــفُ اْلإِ بْــطِ

“Dari Sa’id Ibnu Musayyib dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulullah Saw. bersabda : “Fitrah itu ada lima : Berkhitan, mencukur Bulu kemaluan, mencukur Kumis, memotong Kuku, dan mencabut Bulu ketiak”.
(H.R. An-Nasa’iy : Juz I halaman 5. Terjemahan Bey Arifin dan Yunus Ali Al-Muhdhor)

عَـنْ أَ بِـى عِـمْـرَ انَ الْـجَـوْ نِـيْ عَـنْ أَ نَـسٍ ابْـنِ مَالِكْ قَالَ وَ قَتْ لَــنَارَ سُـوْ لُ الـلّـــــهِ صَــلَّى الـلّـــــهُ عَــلَــيْــهِ وَ سَـــلَّـمَ ، فَِيْ قَـصُّ الــشَّارِبِ وَ تَــقْــلِــيْـمَ اْلأَ ظْــفَارِ، وَخَــلَــقَ الْــعَا نَــةَ وَ نَــتْــفِ اْلإِ بْــطِ أَنْ لاَ تَــتْــرُ كَ أَ كْــثَــرَ مِـنْ أَرْ بـَـعِــيْــنَ يَــوْ مًا، وَ قَالَ مَــرَّ ةً أُخْـرى أَ رْ بـَــعِــيْــنَ لَـــيْـــلَـــةً

“Dari Abi Imran Al-Jauni dari Anas bin Malik katanya “Rasulullah Saw. memberi waktu kepada kami untuk mencukur kumis, memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, mencabuti bulu ketiak, tdak lebih dari 40 hari atau 40 malam”. (H.R. An-Nasa’iy Juz I halaman 7)

19. Macam-macam Najis dan Tingkatannya

Najis (Najasah) menurut bahasa artinya adalah kotoran. Dan menurut Syara’ artinya adalah sesuatu yang bisa mempengaruhi Sahnya Sholat. Seperti air kencing dan najis-najis lain sebagainya.
Najis itu dapat dibagi menjadi Tiga Bagian :

1. Najis Mughollazoh. ( مُــخـــلَّــــظَـــةَ )
Yaitu Najis yang berat. Yakni Najis yang timbul dari Najis Anjing dan Babi.
Cara mensucikannya ialah harus terlebih dahulu dihilangkan wujud benda Najis tersebut. Kemudian baru dicuci bersih dengan air sampai 7 kali dan permulaan atau penghabisannya diantara pencucian itu wajib dicuci dengan air yang bercampur dengan Tanah (disamak). Cara ini berdasarkan Sabda Rasul :

طَــهُوْرُ إِ نَّـاءِ أَحَـدِكُـمْ إِذَاوَ لَــغَ فِــيْـهِ الْـكَــلْبُ أَنْ يــَـغْـسِـلَــهُ سَــبْـعَ مَـرَّ اتٍ أَوْ لاَ هُنَّ أَوْ أُخْـرَ ا هُنَّ بِـا لـتُّــرَ ابٍ

"Sucinya tempat (perkakas) mu apabila telah dijilat oleh Anjing, adalah dengan mencucikan tujuh kali. Permulaan atau penghabisan diantara pencucian itu (harus) dicuci dengan air yang bercampur dengan Tanah”. (H.R. At-Tumudzy)

2. Najis Mukhofafah.
Ialah najis yang ringan, seperti air kencing Anak Laki-laki yang usianya kurang dari dua tahun dan belum makan apa-apa, selain air Susu Ibunya.
Cara membersihkannya, cukup dengan memercikkan air bersih pada benda yang terkena Najis tersebut sampai bersih betul. Kita perhatikan Hadits dibawah ini :

يُــغْسِـلُ مِنْ بَــوْ لِ الْـجَار يَــةِ ، وَ يُـرَ شُ مِنْ بَــوْ لِ الْـغُــلاَ مِ
“Barangsiapa yang terkena Air kencing Anak Wanita, harus dicuci. Dan jika terkena Air kencing Anak Laki-laki. Cukuplah dengan memercikkan Air pada nya”. (H.R. Abu Daud dan An-Nasa’iy)

3. Najis Mutawassithah ( مُـــتــــوَ سِّــطَــــةْ )
Ialah Najis yang sedang, yaitu kotoran Manusia atau Hewan, seperti Air kencing, Nanah, Darah, Bangkai. (selain dari bangkai Ikan, Belalang, dan Mayat Manusia). Dan selain dari Najis yang lain selain yang tersebut dalam Najis ringan dan berat.
Cara mensucikannya perhatikan dibawah ini :
Najis Mutawassithah itu - terbagi Dua :
1. Najis ‘Ainiah, yaitu Najis yang bendanya berwujud.
Cara mensucikannya. Pertama menghilangkan zat nya terlebih dahulu. Sehingga hilang rasanya. Hilang baunya. Dan Hilang warnanya. Kemudian baru menyiramnya dengan Air sampai bersih betul.
2. Najis Hukmiah, yaitu Najis yang bendanya tidak berwujud : seperti bekas kencing. Bekas Arak yang sudah kering.
Cara mensucikannya ialah. Cukup dengan mengalir kan Air pada bekas Najis tersebut.

Najis Yang dapat di Ma’afkan. Antara lain :
1. Bangkai Hewan yang darahnya tidak mengalir. Seperti nyamuk, kutu busuk. Dan sebangsanya.
2. Najis yang sedikit sekali.
3. Nanah. Darah dari Kudis atau Bisul kita sendiri.
4. Debu yang terbang membawa serta Najis dan lain-lain yang sukar dihindarkan.

18. Thoharoh (Bersuci)

Arti Thoharoh, menurut bahasa adalah “Bersih”, tetapi menurut Syara’, artinya adalah bersih dari Hadats dan Najis. Dan bersuci dikarenakan Hadats hanya bagian Badan saja.
HADATS ADA DUA MACAM :
1. Hadats - Besar
2. Hadats - Kecil.
Cara menghilangkan Hadats besar ialah dengan Mandi atau Tayamum. Menghilangkan Hadats kecil bisa dengan Berwudhuk atau Tayamum. Bersuci dari Najis berlaku pada “Badan. Pakaian. dan Tempat”. Dan cara menghilangkannya ialah harus dicuci dengan Air Suci dan Mensucikan, yakni air bersih.

Kedudukan Thoharoh dalam Ibadat.
Thoharoh (bersuci) adalah suatu masalah yang penting dalam Agama Islam. Dan merupakan pangkal dan pokok dari Ibadah yang menjadi penyongsong (mengawali) bagi manusia dalam menghubungkan diri kepada Allah SWT.

عَـنْ أَبِـى مَالـِكٍ الأَشْـعَـرِى قَالَ : قَالَ رَسُـوْ لُ الـلّــــهْ صَـلَّى الـلّــــهُ عَــلَــيْـهِ وَسَــلَّـمَ الـطَّــهُوْرُ شَـطْـرَ اْلإِ يــْـمَانِ ، وَ الْـحَـمْـدُ لـِلّــــــــهِ
تَــمْـلأُ الْـمِـزَ انَ وَسُــبْحَانَ الـلّــــــهِ وَ ا لْـحَـمْـدُ لِـلّــــــهِ تَــمْــلآ نِ
أَوْ تَــمْـلأُ مَابـَـيْـنَ السَّــمـوَاتِ وَ اْلأَرْضِ وَ الصَّــــــــــــــلاَ ةُ نُــوْ رٌ، وَ الصَّـدَ قَـةُ بـُرْهَـانٌ وَ الصَّــبْــرُ ضِـيَاءٌ وَ الْــقُـرْآ نُ حُـجَــةٌ لَـكَ أَوْعَـلَــيْـكَ كُـلُّ الـنَّا سِ يَـخْـدُوْ فَــبَا ئِــحَ نَــفْـسَــهُ فَــمُـعَــتِــقُــهَا أَوْ مُـوْ بِــقُــهَـا


“Dari Abu Malik Asy-‘Ariy, katanya : “Bersabda Rasulullah Saw. “Kebersihan itu sebagian dari ke-Imanan. Membaca Shubhanallah dan Al-Hamdulillah. Pahalanya sebesar Langit dan Bumi. Sholat itu Pelita. Sedekah itu Bakti. Sabar itu Cahaya. Dan Al-Qur-aan itu akan menjadi Kawan atau Lawanmu. Manusia itu sepanjang hidupnya bekerja untuk keselamatan dirinya atau kecelakaan buat dirinya”. (H.R. Muslim)

Tidak Sah Sholat seseorang, jika tidak dengan ber-Thoharoh. Sabda Rasulullah Saw :

عَنِ ابْـنِ عُمَرَ قَالَ: إِ نِّـى سَمِعْتُ رَسُـوْلُ الـلّــهِ صَلَّـى الـلّـهُ عَـلَـيْهِ وَسَـلَّمَ يَـقُـوْ لُ:لاَ تُــقْــبَـلُ صَـلاَ ةٌ بِــغَـيْـرِطَــهُـوْ رٍ وَ لاَ صَـدَ قَــةٌ مِــنْ غُـــلُــوْ لٍ

“Dari Ibnu ‘Umar r.a. ia berkata : “Kudengar Rasulullah Saw. Bersabda Katanya :”Tidak diterima Sholat tanpa bersuci. Begitu pula Sedekah yang didapat dari Korupsi”. (H.R. Muslim)

عَنْ أَبِـى هُرَ يْـرَ ةَ عَن مُحَـمَّـدٍرَسُـوْ لِ الـلّــهِ صَـلَّى الـلّــهُ عَـلَـــيْـهِ وَ سَــلَّـمَ فَـذَ كَـرَ أَحَادِ يْثَ مِـنْـهَا وَ قَـالَ رَسُـوْلَ الـلّـهِ صَـلَّى الـلّــهُ عَـلَــيْــهِ وَ سَــلَّـمَ :لاَ تُــقْــبَـلُ صَـلاَ ةَ أَحَـدِكُــمْ إِ ذَا أَحْــدَثَ حَــتَّى يَــتََــوَ ضَّــأَ

"Dari Abu Hurairah r.a. berkata : Bersabda Rasulullah Saw :“Tidak sah Sholat seseorang yang berhadats. Sebelum ia berwudhuk”. (H.R. Muslim)

Jauh sebelum pelaksanaan Berwudhuk, maka kita akan mengamati persoalan Air terlebih dahulu. Sebab air yang suci tersebut ada beberapa macam :

Macam-macam Air dan Pembagiannya.
Alat utama untuk bersuci adalah air. Ditinjau dari Hukumnya, air dapat dibagi menjadi 4 macam :
1. Air Muthlaq (air yang sewajarnya).
Yaitu air suci dan yang dapat mensucikan (Thohir Muthohir). Artinya air itu dapat dipergunakan untuk bersuci. Dan menurut pakarnya ada 7 macam :
a) Air Hujan.
b) Air Sungai.
c) Air Laut.
d) Air Sumur/Perigi.
e) Air Pancuran/Mata air.
f) Air Embun.
g) Air Salju.
2. Air Makruh.
Yaitu air yang suci dan dapat mensucikan. Tetapi makruh jika digunakan untuk berwudhuk. Seperti air Musyammas yaitu air yang terjemur diterik Matahari dan tempatnya terdiri dari Logam atau Kaleng atau Aluminium. Karena dikhawatirkan air tersebut telah mengandung Bakteri atau Virus yang bisa menyebabkan penyakit kulit bagi sipemakainya.
3. Air Suci. Tetapi tidak dapat digunakan untuk bersuci (Thohir ghoiru Muthohir).
Yaitu air yang boleh diminum. Tetapi tidak Sah untuk Bersuci, seperti :
a) Air yang sedikit dan telah dipakai untuk bersuci. Walaupun tidak berobah warna dan sifatnya. Air itu disebut air Musta’mal.
b) Air suci yang bercampur dengan benda suci, seperti Air Teh, Air Kopi, Air Limun, Air Kelapa. Dan lain sebagainya.
4. Air Mutanajis.
Yaitu air yang terkena atau tercemar oleh najis. Air Mutanajis ini, apabila kurang dari dua Kulah. Maka tidak sah dipakai untuk bersuci. Tetapi jika air tersebut lebih dari dua Kulah, dan tidak berobah sifatnya, yaitu “Baunya. Rupanya. dan Rasanya", maka Sah dipakai untuk bersuci.
Untuk ukuran dua Kulah, jika dengan ukuran isi pada suatu tempat yang persegi empat, ialah :
Panjangnya = 1 ½ Hasta
Lebarnya = 1 ½ Hasta
Dalamnya = 1 ½ Hasta.
Dalam hal ini. Kami penyusun tulisan ini. Menganjurkan, agar Tuan-tuan bertanya kembali kepada para pakar Hukum Islam, seperti KUA atau para ‘Ulama dan para Ustadz di daerah kita masing-masing, agar lebih mantap lagi pengetahuan yang sudah ada.

28 January 2008

17. Tiga Jenis Hukum

Hukum artinya adalah Sekumpulan Peraturan yang menetapkan suatu Perbuatan. Dan melarang suatu Perbuatan. Sebab apabila terlanggar salah satu dari Hukum Peraturan tersebut. Maka akan dikenakan Sanksi, atau diambil tindakan oleh Undang-undang yang termaktub atau tertera dan tercatat di dalam peraturan itu sendiri.
Hukum yang kita bicarakan ini. Terbagi atas tiga :
1. Hukum Syara’ (Syari’at / Fiqih) :
Perintah dan larangan Allah SWT.
2. Hukum ‘Adi (Adat) :
Yang berkaitan dengan kebiasaan Manusia.
3. Hukum ‘Akal :
Yang berkaitan dengan Akal cemerlang Manusia.

1. HUKUM SYARA’
Hukum di dalam Islam bidangnya lebih lengkap dan luas. Kelengkapan ini timbul oleh karena Agama Islam tidak dirakit oleh Manusia. Dan tidak dipengaruhi oleh perbuatan Manusia. Sehingga tidak ada suatu aspek kehidupan Manusia yang tidak diatur oleh Islam.
Renungkanlah ………
Hukum Syara’. Ialah hukum-hukum Agama Islam yang merupakan Perintah dan Larangan Allah SWT. dan setiap orang Islam yang mukallaf, yakni yang sudah diberati hukum Syara’ yakni sudah Akil baligh dan ber’akal sehat. Maka wajib baginya untuk mengetahui hukum-hukum tersebut.

HUKUM TERSEBUT TERBAGI KEPADA DUA BAGIAN :
1. Khitabut - Takhlif.
2. Khitabu - Wadh’i.

a) Khitabut-Takhlif. Artinya adalah : Suatu Hukum yang bergantung kepada sebab dan syarat atau Ma ’ani (Cegahan). Misalnya diwajibkan bagi orang Muslim untuk melakukan Sholat Lima Waktu sehari semalam. Disebabkan ia sudah Baligh dan ber'akal sehat. Serta telah masuk Waktu Sholat. Nah … “Waktu” adalah merupakan salah satu syarat dan sebab. Bagi orang Islam wajib melaksanakan Sholat.
Namun … Tidak wajib melaksanakan Sholat bagi Anak-anak kecil yang belum baligh. Dan tidak wa jib bagi Wanita Muslim untuk melaksanakan Sholat, jika ia sedang Mentruasi atau Haidh dan Nifas atau Bersalin. Inilah yang dinamakan "Ma’ani" (mencegah) orang melaksanakan sesuatu, walaupun itu dipandang baik. Namun kurang Rukun dan Syaratnya menurut Syara’. Maka tidak harus dilaksanakan.

b) Khitabut-Wadh’i. Artinya adalah : suatu Hukum Allah yang diletakkan dan ditentukan kepada tiap-tiap Makhluq. Misalnya, ‘Ilmu Allah menetapkan bahwa ikan itu wajib hidupnya adalah di dalam Air. Dan Manusia wajib hidupnya di Daratan.
Dan misalnya kaum Ibu ditetapkan Allah, tempatnya kehamilan dan melahirkan. Demikianlah Allah menetapkan dan menentukan pada diri kaum Ibu sejak dari dahulu hingga sampai yang akan datang.
Demikian pula Allah jadikan dan menetapkan hukumnya pada tiap-tiap diri Manusia. Besar maupun kecil. Tua maupun muda. Laki-laki maupun Wanita. Ditetapkan Allah agar mereka merasa lapar dan haus. Sebab dengan rasa lapar dan haus itu, maka mereka pasti akan membutuhkan untuk makan dan minum.
Namun demikian. Ditetapkan Allah kepada para Malaikat. Allah jadikan mereka dan menetapkan suatu ketetapan bahwa Malaikat tidak pernah merasa lapar atau haus. Dengan sebab itu, maka Malaikat tidak membutuhkan makanan dan minuman.
Demikianlah seterusnya arti dan maksud yang dinamakan dengan “HUKUM” Khitabut-Wadh’i tersebut. Untuk selanjutnya dipersilahkan Tuan-tuan meluaskannya, sesuai dengan ‘ilmu yang ada. Dan sebaiknya kita cari orang yang berpengetahuan yang berkaitan dengan faham Hukum ini. Agar lebih mantap pengetahuan kita.

HUKUM SYAR’I TERBAGI TUJUH BAGIAN
1. Wajib / Fardhu
2. Sunnat
3. Haram
4. Makhruh
5. Mubah / Harus
6. Sah / Shohih
7. Batal / Bathil

1. Wajib / Fardhu.

Adalah merupakan suatu hal yang mesti dilakukan atas diri tiap-tiap orang Muslim. Baik ia Laki-laki maupun Wanita. Wajib/Fardhu, ialah suatu Hukum, apabila dilaksanakan mendapat pahala (balasan baik). Dan jika ditinggalkan, maka mendapat ganjaran Siksa Neraka.
Wajib ada dua macam :
a) Wajib ‘Ain atau Fardhu ‘Ain
Yaitu Wajib dipelajari. Karena ia mengandung wajib yang berat, tiada keringanan. Terkecuali ‘uzur yang sangat, itupun wajib dengan isyarat, atau menggantinya pada hari yang lain, atau bayar Fidhyah. Yaitu pekerjaan wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang mukallaf, yaitu : Sholat lima waktu sehari semalam. Puasa pada bulan Ramadhan. Membayar Zakat setelah sampai nisabnya. Dan melaksanakan Ibadah Hajji dan lain sebagainya.
b) Wajib Kifayah
Yaitu pekerjaan wajib dilaksanakan oleh setiap orang Muslim yang mukallaf, tetapi jika sudah ada satu diantara sekian banyak orang yang sanggup melaksanakannya, maka lepaslah kewajiban orang yang lain. Misalnya : Menyelenggarakan Jenazah atau mendirikan Rumah ibadah.

2. Sunnat.
Ialah, suatu pekerjaan yang apabila dikerjakan mendapat pahala. Dan jika ditinggalkan tidak mendapat Dosa. Tetapi lebih utama dilaksanakan. Karena bisa menambal sulam kekurangan Ibadah kita. Sunnat ini sering juga disebut Mandhub atau Mustahab.
Hukum Sunnat terbagi Empat bagian :
a) Sunnat Hai-at, atau Sunnat ‘Ain.
Yaitu, suatu perbuatan yang dianjurkan untuk dilaksanakan oleh setiap Muslim, seperti Sholat Sunat Rawatib. (yang mendampingi Sholat Fardhu). Sholat Tahajjut, Sholat Tasbih, Sholat Fajar, Sholat Dhuha. Dan Sholat-sholat yang banyak lagi.
b) Sunnat Kifayah.
Yaitu, suatu pekerjaan yang dianjurkan, namun cukup dilaksanakan oleh seorang diantara satu kaum. Misalnya. Memberi salam. Dan urusan Jenazah. Menjawab orang yang bersin, dan lain-lain.
c) Sunnat Mu’aqad.
Yaitu suatu pekerjaan yang tetap dilaksanakan oleh Rasulullah Saw. seperti Sholat Idul Fitri dan Sho lat Idul Adhha dan sebagainya.
d) Sunnat Ghoiru Mu’aqad.
Yaitu segala sunat yang tidak sering dikerjakan oleh Rasulullah Saw. misalnya Puasa pada Tanggal 9 Muharram, yang ingin dilaksanakan oleh Rasul. Namun sebelum sempat Beliau lakukan. Beliau keburu Wafat. Namun para Sahabat melanjutkannya. Berpuasa pada tanggal tersebut.
Keterangan :
Wahai Insan yang ‘Arif ! Bahwasanya di dalam Wajib terkandung Sunnat. Dan di dalam Sunnat terkandung Wajib.
Cobalah perhatikan dengan cermat, agar kita ber’ilmu dalam hal-hal yang kecil ini.
Umpamanya :
Sekiranya kita Berwudhuk. Pada siraman air, itu adalah wajib, sebab jika tak disiram kapan wudhuknya ? Nah … setelah disiram maka kita gosok untuk meratakan air ketempat anggota Wudhuk. Gosok dan meratakan ini adalah sunat. Di dalam Sunnat terkandung wajib, umpamanya : Sudah jelas seseorang melaksanakan Sholat Sunnat, tetapi jika ia meninggalkan Syarat dan Rukun Sholat. Maka sudah pasti Sholatnya akan menjadi tidak Sah. Karena Syarat dan Rukun Sholat itu adalah wajib dilaksanakan dimanapun seseorang melaksanakan Sholat.
Tidak perduli itu Sholat Sunnat atau Sholat Wajib. Seperti wajib Berwudhuk. Wajib menghadap Qiblat. Wajib Rukuk dan Sujud. Wajib Thomakninah. Wajib Salam. Demikian seterusnya.

3. Haram.
Ialah suatu Larangan yang apabila ditinggalkan mendapat pahala dan balasannya adalah Surga. Dan jika dilakukan, maka mendapat ganjaran siksa di Neraka. Sebab setiap pelanggaran dari perbuatan yang dilarang itu, dinamakan perbuatan Ma’siat dan Dosa, antara lain seperti :
- Minum Arak atau yang memabukkan.
- Melacur / Berzina.
- Membunuh.
- Menyabung / Main Judi. / Berjudi.
- Membohong / Berdusta.
- Menipu. Mencuri atau Merampok
- Mengupat. Mencaci.
Dan semua Makanan dan Minuman yang bisa menghilangkan akal sehat karena mabok atau jadi teler. Dengan sanksi, jika seorang Muslim Mati, tetapi belum sempat bertaubat. Menurut Hukum Syara’ ia akan tersiksa oleh Dosa-dosa yang telah diperbuatnya.

4. Makruh.
Ialah sesuatu yang dibenci didalam Agama Islam. Tetapi tidak berdosa siapa yang melaksanakannya. Namun diberi pahala jika ditinggalkan, seperti, memakan makanan yang membuat mulut berbau, umapamanya Bawang putih. Jengkol. Dan Petai, serta Merokok dan lain sebagainya.

5. Mubah/Harus.
Pada Syara’. Ialah sesuatu pekerjaan yang boleh dilakukan, dan boleh ditinggalkan. Jika ditinggalkan tidak berdosa. Dan jika dikerjakan tidak berpahala, misalnya Minum Kopi. Minum Teh, atau yang tidak terlarang lainnya. Mubah ini dinamakan juga Halal / Jais.
Namun … Kadang-kadang yang harus itu, bisa menjadi Sunnat. Umpamanya, kita makan tetapi diniatkan demi menguatkan tubuh agar lebih giat beribadah kepada Allah. Atau ketika kita berpakaian yang bagus, tetapi diniatkan untuk menambah bersihnya Hati dalam beribadah kepada Allah. Bukan untuk ria dan angkuh serta menunjukkan ketinggian hati dalam berpakaian, dan lain sebagainya.

6. S a h.
Artinya pada Syara’ ialah : Lengkap Rukun dan Syaratnya didalam melaksanakan setiap Fardhu, umpamanya Sholat. Puasa. Zakat. Haji. Termasuk mengambil Wudhu’. Dan lain sebagainya.

7. Batal.
Arti Batal pada Syara’ ialah : Rusak ‘amal perbuatan seseorang apabila kurang Syarat dan Rukun yang diwajibkan atas pelaksanaan tersebut. Wahai Insan ! Semua perbuatan pada Syara’ itu ada Syarat dan Rukunnya. Misalnya, apabila seseorang mau menikah, setelah di hadapan Tuan Qadhi tetapi masih ada kurang Syarat dan Rukun Nikah, maka Insya Allah acara pernikahan tersebut akan menjadi batal dengan sendirinya. Untuk itu semua. Datanglah wajibnya bagi kita untuk mengetahui ‘Ilmunya.

2. HUKUM ‘ADI. (HUKUM ADAT)
Hukum ‘Adi atau Hukum Adat. Ialah menetapkan sesuatu bagi sesuatu yang lain, atau menolak sesuatu karena sesuatu itu ada. Dengan berulang-ulang. Kita katakan berlawanan. Namun ia akan memberi bekas antara salah satu dengan yang lain.
ADAPUN HUKUM ADAT ITU TERBAGI DALAM EMPAT BAGIAN :
1. Pertautan / perhubungan “Ada dengan Ada”.
Misalnya “Ada-nya terasa kenyang” “berhubung dengan Ada-nya makanan dalam Perut tersebut”. Dan misalnya “Ada-nya rasa pusing di kepala”. Berhubung Ada-nya penyakit didalam kepala tersebut”. Dan seterusnya kembangkanlah.
2. Pertautan/perhubungan “Tiada dengan Tiada”.
Misalnya “ke-Tiadaan suatu hal berhubung dengan ke-Tiadaan suatu hal yang lain”, seperti : “Tidak ada rasa kenyang”. “Berhubung dengan Tidak ada makanan didalam perut” Dan seterusnya.
3. Pertautan/perhubungan antara “Tiada dengan Ada”.
Misalnya:
a) Tiada makan. Tetapi Ada terasa kenyang.
b) Tiada Mendung. Tetapi Ada turun Hujan.
c) Tiada dibakar. Tetapi Ada terlihat hangus.
4. Pertautan/perhubungan antara“Ada dengan Tiada”.
Misalnya :
a) Ada makan. Tetapi Tiada terasa kenyang.
b) Ada Mendung. Tetapi Tiada Hujan.
c) Ada dibakar. Tetapi Tiada hangus ?
Dan seterusnya kembangkanlah ………
Demikianlah seterusnya kita kembangluaskan sesuai dengan IQ masing-masing, untuk selanjutnya, menjadilah ia suatu ‘ilmu, serta bisa memudahkan untuk menelusuri ‘ilmu Tauhid. Sehingga menumbuhkan rasa Haqqul Yakin kepada Allah SWT.
Dan perlu kita perhatikan, karena seringnya kita lihat
Adat Api adalah Membakar.
Adat Air adalah Membasahi.
Adat Angin adalah Bertiup dingin.
Adat Bumi adalah Memberi tempat tumbuh segala tumbuhan.
Namun nyata memberi bekas kepada makhluq. Lalu lihat pertumbuhan manusia terdiri dari
Saripati Tanah.
Saripati Air.
Saripati Api.
Saripati Angin.
Dua sifat yang berlawanan, karena sifat Air berlawanan dengan sifat Api. Dan sifat Angin diatas. Namun sifat Bumi dibawah. Ke-empat unsur yang berlawanan. Namun Allah sanggup menyatukan mereka didalam satu wadah.

3. HUKUM ‘AQLI (HUKUM ‘AKAL)
Yang dimaksud dengan ‘Aqli ialah Hukum Akal. Sesungguhnya yang dinamakan Akal yang sempurna, ialah suatu cahaya yang gemilang dan terletak didalam Hati orang Mukmin.
Maka dengan Akal yang jernih itu. Orang Mukmin akan dapat mengetahui apa yang dinamakan ,‘Ilmu Dhoruri”. Yaitu suatu cabang ‘ilmu yang tidak memerlukan Dalil-dalil atau keterangan lagi. Dan disebabkan oleh Akal itu pula. Orang Mukmin akan dapat mengetahui ,,‘Ilmu Nazhori”. Yaitu suatu ‘Ilmu yang memerlukan Dalil maupun keterangan-keterangan yang akurat dan lengkap.
Arti hukum Akal itu, adalah menetapkan sesuatu keadaan untuk adanya sesuatu. Atau mentiadakan sesuatu. Karena tiadanya sesuatu itu.
Misalnya, Tidak mungkin Ada sebuah Rumah. Jika tidak ada Tukang pembuat Rumah tersebut. Maka jatuhlah hukum mustahil adanya. Karena tidak mungkin Rumah itu bisa membentuk dirinya sendiri.
Demikian pula sehelai kain. Tidak mungkin akan bisa menjadi Baju dengan sendirinya. Jika tidak ada pemotong dan Tukang penjahit Baju tersebut. Demikianlah suatu contoh pengambilan hukum. Dan Qiyaskanlah ia hingga selanjutnya menjadi berkembang pengertiannya. Kemudian menjadi suata cabang ‘ilmu yang sangat penting bagi Masyarakat Dunia.

Hukum Akal terbagi tiga :
Wajib
Yaitu. Barang yang tidak dapat diterima oleh akal akan tidak Adanya. Misalnya Allah itu wajib
Ada-Nya. Atau misalnya seseorang yang hidup wajib ada Nyawanya. Sekiranya tidak bernyawa. Maka sudah pasti ia tidak akan hidup alias mati.
Mustahil
Yaitu. Barang yang tidak bisa diterima akal akan adanya. Misalnya “Mustahil Allah tidak ada”.
Atau misalnya : Seorang Anak yang melahirkan Ibunya. Bukankah ini Mustahil ???
Jaiz
Yaitu. Barang yang harus (mungkin) saja ada atau tidak adanya. Misalnya : Ada Seorang Ibu melahirkan Anak kembar sebanyak 12 orang. Kejadian seperti ini. Boleh saja terjadi Boleh saja tidak.

Yang tertera diatas adalah contoh pengambilan pada Hukum Akal. Dan diharapkan kepada pembaca agar bisa mengembangkannya jauh lebih luas lagi, sehingga ia benar-benar bisa menjadi pelajaran yang mendalam demi kebaikan bagi Manusia.
Maka, manakala orang mengatakan : Wajib atas tiap tiap Mukallaf. Maksudnya adalah Wajib pada Hukum Syar’i, yaitu menurut Hukum Syara’.
Dan jika orang mengatakan : Wajib bagi Allah dan Rasul-Nya. Maka maksudnya adalah Wajib ‘Aqli, yaitu wajib pada Hukum Akal.
Dan jika orang mengatakan : Wajib bagi Makhluq. Maksudnya adalah wajib pada hukum ‘Adi atau Hukum Adat. Dan seterusnya…

16. Arti dari Kalimat Fardhu Rukun Syarat Sah Batal

1. FARDHU
Ialah sesuatu yang diwajibkan untuk dilaksanakan. Dan ia dipandang sebagai Rukun. Artinya Yang menjadi unsur terpenting dari Haqikat.
2. RUKUN
Ialah Pokok pekerjaan itu, misalnya Niat dalam Sholat tidak dapat dipisahkan dengan Sholat itu sendiri. Yakni Sholat tanpa Niat sama halnya dengan tidak Sah.
3. SYARAT
Ialah sesuatu pekerjaan yang disuruh melaksanakannya, sebelum melaksanakan pekerjaan yang wajib. Dan pekerjaan itu, tidak diterima jika tidak dengan pekerjaan yang pertama. Misalnya suci dari Hadats kecil (berwudhuk) terlebih dahulu kita laksanakan. Baru Sah Melaksanakan Sholat.
4. S A H
Ialah cukup Syarat dan Rukunnya. Misalnya jual beli itu dianggap Sah. Sesudah dapat memindahkan Haq milik Si penjual kepada Si pembeli. Jika alat tukar telah bisa dipenuhi. Dengan Syarat diberi alat tukarnya. Dan Rukunnya, ialah pindah Haq milik Si penjual kepada Si pembeli.
5. BATAL
Ialah Tidak Sah atau Fasid, jika tidak cukup Syarat dan Rukunnya, yakni tidak Sah. Dan masih dituntut untuk melaksanakannya kembali (ulang). Suatu pekerjaan dianggap Batal apabila tidak memenuhi syarat. Dan melanggar dari Hukum Syari’at yang telah ditentukan oleh Allah SWT.

Firman Allah SWT :

وَ اصْبِــرْ لـِـحُكْـمِ رَ بِـّـكَ فَـإِ نَّــكَ بِِــأَعْــيُــنِــنَا، وَسَــبِّــحْ بِـحَـمْـدِرَ بِـّكَ حِـيْـنَ تَــقُـوْ مُ

"Bersabarlah terhadap ketentuan Tuhan-mu. Karena sesungguhnya engkau dalam pengawasan KAMI. Dan bertasbihlah memuji Tuhan-mu di waktu engkau bangun". (Q.S. Ath-Thuur : 48)

وَ مِـنَ ا لَّـــيْـــلِ فَـــسَـــبِّـــحْـــهُ ………

"Dan bertasbihlah memuji-Nya di waktu malam". (Q.S. Ath-Thuur : 49)

15. Qiyas

Qiyas menurut bahasa, artinya ialah "Mengukur sesuatu dengan sesuatu dan mempersamakannya". Dan menurut istilah Qiyas itu artinya ialah : Menetapkan sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya. Berdasarkan sesuatu hukum yang sudah ditentukan oleh Nash, disebabkan adanya persamaan".

KEDUDUKAN QIYAS :
Qiyas menurut para Ulama, adalah Hujjah (pegangan) Syar'iyah yang ke-empat. Sesudah Al-Qur-aan, Hadits, dan Ijma’ Ulama. Mereka berpendapat demikian dengan berpegang kepada
a) Firman Allah SWT :

فَـاعْــتَــبِــيْــرُوْا يَـآ اُوْ لىِ اْلاَ بــْـصَارِ

"Hendaklah kamu mengambil I’tibar (contoh / ibarat / pelajaran). Hai orang-orang yang berfikiran". (Q.S. Al-Hasyr : 2)

Karena i’itibar artinya adalah "Qiyash-Syai’i-bisy-Syai’ (Membanding sesuatu dengan sesuatu yang lain). Berpegang kepada Hadits Rasulullah Saw :

قَـوْ لُــهُ صَـلَّى الـلّـــهُ عَـلَــيْـهِ وَ سَـلَّـمَ لــِمُــعًاذٍ رَضِيَ الـلّــهُ عَـنْـهُ لَــمَّا بَــعَــثَــهُ إِلىَ الْــيَـمَـنِ : كَـــيْـفَ تَــقْـضِى إِ ذَا عَـرَضَ لـِكَ قَـضَـاءٌ ؟
قَالَ : أَ قْـضِ بِـكِــتَـابِ الـلّــهِ! قَالَ : فَـإِ نْــلَـمْ تَــجِـدْ فِى كِـــتَـابِ الـلّــــهِ ؟ قَالَ : فَــبِسُــنَّـةِ رَسُـوْ لِ الـلّــــهِ ! قَالَ : فَـإِنْ لَــمْ تَــجِـدْ فِى سُــنَّــةِ رَسُـوْ لِ الـلّـــــــهِ وَ لاَ فِى كِــتَابِ الـلّــــــــــهِ ؟ قَالَ : أَجْــتَــهِـدُ رَ أَ بِـيْ وَ لاَ أَ لُـوْ ا! فَـضَرَ بَ رَسُـوْ لِ الـلّـــهِ صَـدْ رَ هُ وَ قَالَ : أَ لـحَــمْـدُ لـِلّـــهِ ا لَّـذِ يْ وَ فَّـقَ رَسُـوْ لِ الـلّـــهِ لــِمَا يَـرْ ضَا هُ رَ سُـوْ لُ الـلّــــهِ

"Sabda Nabi.Saw. ketika beliau mengutus Mu’az ra. ke Yaman, maka Nabi bertanya : Dengan apa kamu menetapkan perkara yang datang kepadamu ? Mu’az berkata :"Saya akan memberi keputusan dengan Kitab Allah". Nabi. Saw. bersabda :"Jika kamu tidak mendapatkannya dalam Kitab Allah ?" Mu’az ber kata: "Dengan Sunnah Rasul". Nabi. Saw bertanya lagi :"Kalau pada Kitab Allah dan Sunnah Rasul tidak kamu dapati ?" Mu’az berkata : "Saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak kembali". Kemudian Rasulullah Saw Menepuk-nepuk Dada (pundak) Mu’az, (bergirang hati) sambil bersab da :"Alhamdulillah. Allah telah memberi Taufiq kepada pesuruh Rasulullah. Sesuai dengan Keridho-an Rasulullah". (H.R. Muslim. Ahmad. Abu Daud. At-Turmudzi. Mereka menyatakan bahwa Qiyas itu termasuk Ijtihad Ro’yu juga)

RUKUN QIYAS ADA EMPAT :
1.
Asal/pokok (pangkal) yang menjadi ukuran/tempat menyerupakan (Musyababih : Benda atau Tempat menyerupakan untuk menyampaikan faham)
2. Far’un/cabang yang di ukuran (Musyabab : yang diserupakan).
3. Illat/Sebab, yaitu yang menghubungkan pangkal dan cabang permasalahan.
4. Hukum yang ditetapkan pada Far’i, sesudah tetap pada asal pokoknya.
CONTOH :
Allah telah mengharamkan Arak, karena ia merusak ‘Akal dan merusak Tubuh. Serta bisa menghabiskan harta. Maka segala Minuman atau Makanan yang memabukkan dihukumkan Haram juga.

CONTOH DALAM PENGAMBILAN HUKUM :
1. Segala yang memabukkan ialah Far’un/cabang. Artinya yang di Qiyaskan.
2. Arak. Adalah yang dijadikan ukuran atau tempat menyerupakan dan meng-Qiyaskan Hukum. Artinya asal/pokoknya.
3. Mabuk itu merusak ‘Akal. Adalah Illat, yaitu yang menghubungkan atau sebab dari yang me rusak ‘Akal tersebut.
4. Hukumnya. Segala Minuman dan Makanan yang memabukkan dihukumkan "Haram". Tidak ada terkecuali.
Setelah kita mengetahui rukun-rukun Qiyas itu ada 4 macam. Yaitu asal pokok atau pangkal hadirnya sebab. Dan Far’un/Far’i adalah (cabang) kehadiran penyebabnya. Dan Illat adalah (penghubung) bisa hadirnya sebab dan penyebab. Maka keputusan Hukum berjalan atas mereka. Yaitu menetapkan Haram hukumnya. untuk ini, kita wajib pula mengetahui apa syarat-syarat dari masing-masing.

1. Asal / Pokok itu ada tiga macam
a) Hukum asal harus tetap berlaku, karena kalau sudah tidak berlaku lagi berarti sudah dirobah atau mansukh (dihilangkan). Niscaya tidak mungkin Far’i (cabang) bisa berdiri sendiri.
b) Hukum yang berlaku pada asal. Adalah hukum Syara’, karena yang sedang kita bahas ini, adalah Hukum Syara’ yakni Hukum Agama Islam.
c) Hukum pokok/asal tidak merupakan hukum pengecualian. Seperti Sah-nya Puasa bagi orang yang lupa. Meskipun ia makan dan minum. Mestinya Puasa tersebut sudah menjadi batal. Sebab segala sesuatu tidak akan ada, apabila berkumpul dengan hal-hal yang meniadakannya. Tetapi Puasanya tetap saja ada. Karena Rasulullah Saw. bersabda :

"Barangsiapa lupa, padahal ia sedang Puasa. Kemudian ia makan dan minum. Maka hendaklah ia menyelesaikan Puasanya. Sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan minum”. (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)
Berhubung dengan Hadits tersebut. Maka orang yang dipaksa tidak dapat di Qiyaskan dengan orang yang lupa.

2. Syarat-syarat Far’i (Cabang) ada tiga
a) Hukum Far’i (cabang) janganlah berujud lebih dahulu daripada Hukum asal/pokok. Misalnya meng-Qiyaskan Wudhuk kepada Tayamum. Di dalam berkewajiban Niat dengan alasan bahwa kedua-duanya sama-sama Thoharoh. Qiyas tersebut tidak benar.
Karena Wudhuk (dalam contoh dan cabang) diadakan sebelum Hijrah. Sementara Tayamum (dalam contoh ini sebagai asal) diadakan sesudah Hijrah. Bila Qiyas tersebut dibenarkan, berarti menetapkan Hukum sebelum Illat (penghubung), yakni karena Wudhuk itu berlaku sebelum Tayamum.
b) Illat hendaknya menyamai Illat asal yang pertama.
c) Illat hendaknya menyamai Illat pada asal yang pertama
d) Hukum yang ada pada Far’i itu menyamai Hukum asal.

3. Syarat-syarat ‘Illat ada tiga
a) Hendaknya ‘Illat itu berturut-turut, artinya jika ‘Illat itu ada. Maka dengan sendirinya Hukum-pun ada.
b) Dan sebaliknya apabila Hukum ada. Illat pun harus ada.
c) Illat (penghubung) jangan sampai bertentangan Nash, karena ‘Illat itu, tidak dapat mengalahkan Nash. Maka dengan demikian tentu Nash lebih dahulu mengalahkan ‘Illat.
Contoh :
Sebagian Ulama berpendapat bahwa Wanita dapat melakukan Nikah tanpa izin Walinya (tanpa Wali) dengan alasan bahwa wanita dapat memiliki dirinya sendiri. Di Qiyaskan kepada bolehnya ia menjual harta bendanya sendiri.
Qiyas tersebut tidak berlaku atau tidak dapat diterima. Karena berlawanan dengan Nash yang Qoth’i. Sebagai mana Sabda Rasulullah Saw :

أَ يـُّـمَا اَ مْرَ أَ ةٍ نِـكَـحَتْ بِـغَـيْـرِ إِ ذْنِ وَ لـِـيِّــهَـا فَـنِكَـاحُـهَـا بَـاطِلٌ

"Barangsiapa Wanita menikah dengan tidak se-izin Walinya (tanpa Wali). Maka Nikahnya batal". (H.R. Ibnu Hibban dan Al-Hakim)

MACAM MACAM QIYAS

1. QIYAS AULAWI.
2. QIYAS MUSAWI.
3. QIYAS DHILALAH.
4. QIYAS SYIBH.
Untuk ini, kita dipersilahkan untuk mencari atau bertanya kepada Ahlinya. Karena pelajaran ini memang bukan untuk kita. Kita hanya mencari isi dari Qiyas tersebut. Maka kita padakan sampai disini. Namun sebaiknya kita mencari guru yang tangguh dalam hal ini.

14. Ijma' Ulama

Ijma'. Menurut bahasa, artinya adalah "Sepakat - Setuju - Sependapat". Tetapi istilah ialah :


إِ تِــفَافُ مُجْــتَــهِـدِى أُ مَّـةِ مُحَـمَّـدٍصَـلَّى الـلّــــهُ عَــلَــيْــهِ وَ سَــلَّـمَ بَــعْـدَ وَ فَا تِـهِ فِيْ عَـصْرٍ مِنَ اْلأَ عْصَارِعَـلىَ أُ مْـرٍ مِنَ اْلأُ مُـوْ رِ

"Kebulatan pendapat semua ahli Ijtihad umat Muhammad. Sesudah Wafatnya, pada suatu masa tentang suatu masalah adalah Hukum".

Ijma' itu, bisa menjadi Hujjah (pegangan) dengan sendirinya, ditempat yang tidak didapati dalil (Nashnya) di dalam Al-Qur-aan ataupun Hadits Nabi Saw. dan tidak menjadi Ijma' (sepakat) kecuali telah disepakati oleh semua ‘Ulama Islam. Dan selama tidak menyalahi Nash yang Qoth'i (Kitabullah dan Hadits Mutawatir). Dan pegangan Ijma' itu sendiri harus berdasarkan Al-Qur-aan dan Hadits, sebagaimana Firman Allah dalam Al-Qur-aan :


يـا يُّــهَاالَّذِ يْـنَ ا مَــنُـوْ ااَطِـيْـعُوالـلّـــهَ وَ اَطِـيْـعُواالـرَّسُـوْلَ وَ اُولىِ اْلاَ مْرِ مِـنْـكُمْ فَـاِنْ تَــنَا زَعْـتُـمْ فِيْ شَيْ ءٍ فَـرُدُّوْ هُ اِلَى الـلّــهِ وَ الـرَّ سُـوْلِ اِنْ كُــنْــتُـمْ تُــؤْ مِنُـوْانَ بِـالـلّــــهِ وَ الْــيْــوْ مِ اْلا خِــرِ ذ لـِكَ خَـــيْــرٌ وَّ اَ حْسَــنُ تَــأْ وِ يْــلاً

"Hai orang-orang yang beriman ! Ta'atilah Allah dan Ta'tilah Rasul-Nya. Serta patuhilah Ulil Amri di antara kamu. Sekiranya ada perbedaan pendapat di antara kamu tentang sesuatu (yang tidak ada ketegasan dalam Al-Qur-aan dan Sunnah Rasul).
Maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul (sunnahnya) Sekiranya kamu memang beriman kepada Allah dan hari Akhirat, demikian itulah yang lebih baik dan lebih tepat penyelesaiannya" (Q.S. An-Nisaa': 59)

Didalam ayat diatas ada kalimat "kembalikanlah kepada Allah dan sunnah Rasul-Nya". Disini dianjurkan ber-ijtihad menyerahkan segala sesuatu kepada Allah. Dengan cara Sholat Istikhoroh. Sholat istikhoroh ini adalah untuk memohon Petunjuk Allah SWT. Dengan demikian berarti kita telah mengembalikan segala persoalan yang sulit kepada Allah SWT yang labih faham dan lebih bijaksana memberi petunjuk kedalam Hati kita, mana yang baik dan mana yang buruk.

مَاخَابَ مَنِ اسْــتَـخَارَ ، وَ لاَ نَـدِ مَ مَنِ اسْــتَــشَارَ وَ لاَعَ لَ مَنِ اَ قْــتَــصَــدَ

"Tidak akan kecewa orang yang Istikharah (memohon pilihan yang lebih baik dari Allah). Dan tidak akan menyesal orang-orang yang Bermusyawarah. Dan tidak akan melarat orang yang hidup hemat" (H.R.At-Thabrani)

Jika kita benar-benar melaksanakan Sholat istikharah itu dengan baik dan benar, maka setelah selesai Sholat tersebut, Insya Allah akan mendapat Natijah dan Petunjuk dari Allah SWT. Jika belum dapat ulangi lagi.

عَجِـبْتُ لـِلْـمُـؤْ مِنْ إِ ذَا أَ صَا بَــهُ خَــيْـرٌحَمِدَ الـلّــهَ وَ شَكَـرَ، وَ إِذَ ا أَصَا بَــتْــهُ مُصِـيْــبَــةٌ حَـمِـدَ الـلّـــهَ وَصَــبَـرَ، فَالْـمُـؤْ مِنُ يُـؤْجَـرُ فِيْ كُلِّ أَ مْرِ هِ حَـتَّى يَـؤْجَرُفِى الـلُّــقْـمَـةِ يَـرْ فَــعُـهَا إِ لَى إِ مْـرَ أَ تـِــهِ

"AKU mengagumi seorang Mukmin. Bila ia memperoleh kebaikan ia memuji Allah. Dan bersyukur. Bila ia ditimpa Musibah maka ia akan memuji Allah dan bersabar. Seorang Mukmin diberi pahala dalam segala hal. Walaupun hanya sesuap makanan yang diangkatkannya ke mulut istrinya". (H.R. Ahmad dan Abu Daud)


Selanjutnya, jika kita memang benar-benar beriman kepada Allah Jalla Wa'azza. Dan Beriman kepada Rasul-Nya. Maka kita tidak akan sepakat jika keputusan di dalam Musyawarah itu tidak adil dan tidak benar-benar menurut kehendak Allah dan Sunnah Nabi Saw.

لاَ تَـجْــتَــمِــعُ اُ مَّــتِـيْ عَـلىَ الـضَّـــــلاَ لَــةِ

Umatku tidak akan pernah sepakat terhadap kesesatan

إِ تَّــقُـوْ افِـرَا سَـةَ ا لْـمُـؤْ مِنِ ، فَـإِ نَّــهُ يَــنْـظُـرُ بِــنُـوْرِ الـلّـــهِ

"Waspadalah terhadap Firasat seorang Mukmin. Sesungguhnya ia melihat dengan Nuur Allah". (H.R. At-Turmudzy dan Ath-Thabrany)

Sandaran Ijma' dipandang sah, jika mempunyai sandaran yang kuat. Sebab Ijma' itu bukanlah dalil yang berdiri sendiri. Sandaran Ijma' ada kalanya Dalil yang Qoth'iy (Qur-aan dan Hadits Mutawatir). Dan ada kalanya berupa dalil Dzonni (Hadits Ahad dan Qiyas). Jika sandaran Ijma' Hadits Ahad. Maka Hadits Ahad ini bertambah nilai kekuatannya.
Untuk itu, sangat baik jika kita belajar lagi untuk menambah ‘ilmu tentang hadit-hadits Nabi Saw. ini agar jangan sesat ditengah jalan.

IJMA' UMMAT TERSEBUT TERBAGI DUA
a) Ijma' Qouli. Ucapan, yaitu dimana para Ulama Ijtihad menetapkan pendapatnya. Baik dengan Lisan maupun Tulisan yang menerangkan persetujuannya atas pendapat Mujtahid lain pada masanya. Ijma' demikian ini disebut Ijma' Qoth'i.
b) Ijma' Diam. Ialah Ijma' dimana para Ulama Ijtihad berdiam diri, tiada mengeluarkan pendapatnya atas Mujtahid lain. Dan diamnya itu, bukan karena takut atau malu. Ijma' demikian ini disebut juga ijma' Dzonni.
Disamping Ijma' umat tersebut, masih ada macam-macam Ijma' yang lain, seperti tertulis dibawah ini :
1. Ijma' para Sahabat.
2. Ijma' Ulama Madinah.
3. Ijma' Ulama Kuffah.
4. Ijma' Ulama Khulafa-ur-Rasyidiin.
5. Ijma' Abu Bakar.
6. Ijma' Umar Ra.
7. Ijma' Itrah yakni Ahli bait.
8. Ijma' Golongan syi'ah.

Ditinjau dari segi masanya. Dapat dibagi menjadi dua
1. Ijma' Khalifah yang Empat
2. Ijma' Sesudahnya
1. Ijma' Sahabat yang dimaksud ialah Ijma' pada jaman Khalifah Abu Bakar ra. 'Umar ra. 'Utsman ra. 'Ali ra. Ijma' mereka-mereka ini, sudah jelas dapat dijadikan Hujjah (pegangan) tanpa perselisihan lagi. Sebab Nabi Saw. sendiri memrintahkan dengan Sabdanya :

عَــلَــيْــكُـمْ بِسُـنَّــتِى وَسُـنَّــتِى الْـخُــلَــفَاءِ الـرَّ اشِـدِ يْــنَ

"Hendaklah kamu sekalian berpegang kepada cara-caraku. Dan cara-cara Khulafaa-ur-Rasyidiin. (H.R. Abu Daud dan lain-lain)

2. Zaman sesudah Khulafaur-Rasyidiin, yaitu tatkala Islam telah meluas dan para Fuqohaa dan Sahabat telah banyak yang pindah ke Negeri Islam yang baru. Dan telah timbul Fuqohaa dari golongan Tabi’iin yang tidak sedikit. Ditambah lagi dengan pertentangan Politik. Maka jaman yang sedemikian ini sukarlah dibayangkan dapat terjadi Ijma’ (berkumpul dan sependapat ?).
Kalaulah pada jaman Tabi’iin saja sudah sukar terjadi Ijma’. Lebih-lebih pada jaman sekarang. Dimana para Ulama tersebar luas keseluruh pelosok. Sementara Sahnya Ijma’ ialah : "Kebulatan pendapat semua Ahli Ijtihad. Untuk mewujudkan ini, perlu penyelidikan :
Siapakah yang yang berhaq disebut Ahli Ijtihad ???
Menemukan pendapat Mujtahid yang disetujui oleh Mujtahid yang lainnya
Nah ! Siapakah yang sanggup menyelidiki untuk mengambil jawaban atas tiap-tiap soal, yang telah di setujui dan sepakat oleh tiap-tiap Ahli Ijtihad ?
Karena itu. Dapatlah kita mengerti pendapat Imam Ahmad bin Hanbal : "Barang siapa mengatakan ada Ijma' sesudah jaman Sahabat. Berarti ia berdusta". Cukuplah ia katakan : "aku tidak mengetahuinya". Apakah ada orang yang menentang faham ini ? Mungkin boleh jadi ada. "Namun aku belum mengetahui".
Ijma’ yang terjadi pada jaman sekarang ini, tidak berbeda dengan Ijma' (sependapat) dari keputusan Musyawarah yang diambil oleh para Ulama yang mewakili seluruh lapisan Masyarakat. Tidak lain hanya untuk membicarakan kepentingan-kepentingan mereka. Belum tentu cocok dengan pendapat yang lain. Itulah yang mereka anggap dan dinamai dengan Ulil Amri Minkum. Atau Ahlul Halli Wal 'Aqli. Mereka diberi haq oleh Masyarakat Islam untuk membuat undang-undang yang belum terdapat dalam Syara'. Keputusan mereka wajib dita'ati. Dan dijalankan selama tidak bertentangan dengan Nash-nash Syari'at, maka betapa dan bagaimana pun juga keputusan itu bisa saja batal. Terhadap Penduduk Dunia lainnya.
Demikianlah pendapat para Pakar-pakar Hukum Islam.

13. Tingkatan dan Jenis Hadits

1. Hadits Shohih (Sah/benar/sehat)
2. Hadits Hasan (Bagus/Baik)
3. Hadits Dho’if (Lemah)
4. Hadits Marfu’ (Semua sanadnya bersandar kepada Rasulullah Saw)
5. Hadits Mushahhaf (Kesalahan terjadi pada catatan / bacaannya)
6. Hadits Muttasil (Sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah Saw)
7. Hadits Mauquf (Sanadnya boleh jadi bersambung, boleh jadi terputus)
8. Hadits Mun-qoti’ (Dho’if, karena terputus sanadnya)
9. Hadits Mursal (Dho’if dan Mardud)
10. Hadits Mu’allal (Terselubung cacatnya / merusak keshohihan Hadits)
11. Hadits Ghorib (Yang menyendiri)
12. Hadits Masyhur (Nyata)
13. Hadits Mudallas (Gelap / Menyembunyikan cacat dalam sanad)
14. Hadits Mutawatir (Berturut Sanadnya)
15. Hadits Syadz (Bertentangan)
16. Hadits Mudraj (Ada tambahan, yang bukan bagian dari Hadits)
17. Hadits Maqlub (Dho’if. Karena ada pergantian lafaz)
18. Hadits Mudhtorib (Rusak susunan)
19. Hadits Mu’adhal (Menggugurkan dua Perawi aslinya)(Hukumnya Dho’if)
20. Hadits Matruk (Dho’if yang paling buruk. Perawinya tertuduh Pendusta)
21. Hadits Maudhu’ (Palsu. Kebohongan yang diciptakan dan disandarkan kepada Rasul Saw)
22. Hadits Munkar (Cacat dan Palsu perawinya kedapatan berbuat Fasiq)

Jika Hadits-hadits yang kita baca terdapat Keterangan yang mengatakan seperti dibawah ini :
7 Imam : Al-Bukhari. Muslim. Ahmad. Abu Daud. At-Turmudzy. An-Nasa’iy. Ibnu Majah.
6 Imam : Al-Bukhari. Muslim. Abu Daud. At-Turmudzy. An-Nasa’iy dan Ibnu Majah.
5 Imam : Ahmad. Abu Daud. At-Turmudzy. An-Nasa’iy. Ibnu Majah.
4 Imam : Ahmad. At-tirimidzy. An-Nasa’iy. Ibnu Majah.
3 Imam : Abu Daud. At-turmudzy. An-Nasaiy.
Muttafaqun 'Alaih : Al-Bukhari dan Muslim.

Banyak orang yang berjiwa ta'at dan patuh kepada Agama. Tetapi karena pengetahuannya tentang Hadits sangat terbatas, sehingga ia nampak seperti orang yang hidup dalam kegelapan. Yaitu meraba-raba dan seperti berjalan tiada tentu arah tujuan. Tidak ada pegangan yang menimbulkan ketenangan dalam hati untuk menetapkan langkahnya. Dan ia akan berhati-hati dengan tidak ada alasan. Kadang-kadang mereka bisa bersikap sangat pemberani (agresip). Padahal ia berbuat salah. Maka untuk menghindarkan segala sifat yang buruk dan merugikan diri sendiri seperti yang demikian itu !!! Hendaknya kita selalu mencari tambahan ilmu tentang Hadits. Dengan demikian kita berjalan menurut Cahaya yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw. kepada seluruh umatnya. Kita mengharap kepada Allah SWT semoga kita jangan sampai terperangkap dengan Hadits-hadits palsu !!! Yang pada akhirnya kita sendiri yang akan rugi. Karena dari dahulu hingga sekarang. Kebanyakan dari kita, hanya menerima Cerita-cerita Israiliyat yang sampai kepada kita melalui cerita entah berantah, lalu kita katakan itu adalah Hadits Nabi Saw. Maka sanksinya adalah Neraka !
Oleh karena itu. Wajib bagi kita belajar lagi untuk memperhalus kaji. Agar jangan menjadi orang yang hanya ikut-ikutan saja, alias ikut saja apa kata orang. Yakni bertaqlid buta (tiada 'ilmu). Ingatlah ! Neraka tetap menanti kehadiran orang yang demikian ini !
Dan semoga para pembaca yang berminat dengan pelajaran ini, kita harapkan untuk mencari atau bertanya kepada Ahli Hadits yang banyak liku-likunya, karena maksud dari pelajaran ini bukan menguraikan ilmu Hadits, tetapi mengurai isi Hadits yang berkaitan dengan ketetapan Ibadah. Maka dipersilahkan menambah ‘ilmu kepada para Ahli Hadits yang Mu’tabar dimanapun ia berada.

Sunnah ada enam Kitab Hadits yang ternama, yang merupakan pegangan penjelasan utama bagi umat Islam. Keenam Kitab tersebut ialah :
1. Shohih Imam Al-Bukhari.
2. Shohih Imam Muslim.
3. Imam Abu Daud.
4. Imam An-Nasa'iy.
5. Shohih At-Turmudzy.
6. Imam Ibnu Majah.
Demikian serba sedikit tentang Hadit dan Sunnah.

19 January 2008

12. Sunnah Terbagi Tiga Bagian

Sunnah menurut bahasa artinya ialah : Perjalanan atau Pekerjaan atau Cara. Sunnah menurut istilah Syara’ ialah Perkataan Nabi Muhammad Saw. atau Perbuatan. Dan Keterangan Beliau atau Diamnya Nabi Saw.
Yaitu sesuatu yang dikatakan atau yang diperbuat oleh para Sahabat, tetapi tidak ditegur oleh Nabi Saw. Tiada ditegur, adalah sebagai bukti bahwa perbuatan tersebut tidak terlarang hukumnya. Oleh karena itu, Sunnah terbagi menjadi tiga bagian :

1. SUNNAH QOULIYAH.
Sabda-sabda Rasulullah Saw.
Sunnah Qouliyah, yaitu segenap Perkataan Nabi Saw. yang menerangkan Hukum-hukum Agama dan maksud isi Al-Qur-aan, serta berisi Peradaban. Hikmah. ‘Ilmu pengetahuan. Juga Menganjurkan agar manusia ber-Akhlaq mulia. Sunnah Qouliyah (Ucapan) ini dinamakan juga Hadits Nabi Saw.

2. SUNNAH FI’LIYAH.
Segenap perbuatan Rasulullah Saw.
Sunnah Fi’liyah, yaitu segenap Perbuatan Rasulullah Saw. Yang menerangkan cara pelaksanaan Ibadah, misalnya cara Berwudhu’ yang baik. Cara dan gerakan dalam Sholat. Cara gerakan menyembelih Hewan. Dan lain sebagainya.

3. SUNNAH TAQRIRIYAH.
Diamnya Rasulullah Saw. atas ucapan atau perbuatan para Sahabat Nabi Saw.
Sunnah Taqririyah, yaitu apabila Nabi Saw. mendengar Sahabat mengatakan perkataan atau melihat mereka memperbuat sesuatu perbuatan. Lalu ditetapkan dan dibiarkan oleh Nabi Saw. dan tidak ditegurnya atau dilarangnya. Maka yang demikian ini dinamai Sunnah Ketetapan Nabi Saw. (Taqrir).

SUNNAH ITU MENJADI HUJJAH (PEGANGAN)
Sunnah mempunyai dua Fungsi :
A. Menjelaskan maksud ayat-ayat Al-Qur-aan.
B. Berdiri sendiri dalam menentukan sebagian dari be berapa Hukum. Menjelaskan maksud ayat-ayat Al-Qur-aan, sebagaimana Firman Allah :




وَ اَ نْـزَ لْــنَآ اِلَــيْـكَ الـذِّكْــرَ لــِـتُـــبَــيِّــنَ لـِلــنَّاسِ مَا نَــزِّ لَ اِ لَـــيْـــهِـمْ

“Dan KAMI telah menurunkan Peringatan (Az-Zik ro) kepadamu, agar kamu menerangkan kepada seluruh manusia. Apa yang sudah diturunkan kepada mereka”. (Q.S. An-Nahl : 44)

Demikianlah, karena sebagian ayat-ayat Al-Qur-aan yang mendukung Hukum-hukum itu, masih merupakan sesuatu, secara garis besarnya saja. Maka untuk menjelaskan hal ini, Nabi Saw. yang berhaq menjelaskannya kepada seluruh umatnya. Misalnya : Perintah Mandi Jenabat / Junub. Atau Berwudhu’. atau Bertayamum. Serta Perintah Sholat. Dan mengeluarkan Zakat. Maka untuk memberi keterengan tentang pelaksanaannya, maka diperlukan penjelasan dari Rasulullah Saw.

Hadits.
Berdiri sendiri dalam menentukan sebagian dari pada beberapa Hukum : seperti ada kalanya dalam Al-Qur-aan tidak didapati Hukum suatu hal yang disebut oleh Rasulullah Saw. misalnya tentang haramnya Hewan yang berkuku tajam jika dimakan.
Kedudukan Sunnah/Hadits yang menyendiri mengatur Hukum Syara’ secara Qur-aan, sebagaimana Sabda Nabi :




أَ لاَ وَ إِ نِّـيْ أُوْ تــِـيْتُ الْـقُـرْآنَ وَ مِـثْــلَــهَ مَــعَــهُ

"Ingatlah. Bahwasanya saya sudah diberi Al-Qur-aan dan disertai dengan sebangsanya (Sunnah) itu”. (H.R. Abu Daud dan At-Turmudzy)




Selanjutnya Firman Allah :

وَ مَـآ ا تـكُـمُ الـرَّسُـوْ لُ فَـخُـدُوْ هُ وَ مَـا نَــهكُـمْ عَــنْـــــــهُ فَـانْــتَـــهُـوْا، وَ ا تَّــقُـواالـلّـــــــــهَ ط اِنَّ الـلّـــــــــهَ شَـدِ يْـدُ ا لْــعِـقَابِ

“Apa yang dianjurkan Rasul kepadamu, Terimalah. Dan mana yang dilarangnya hendaklah kamu tinggalkan. Dan Bertaqwalah kepada Allah. sesungguhnya Allah sangat keras Hukuman-Nya”. (Q.S. Al-Hasyr : 7)

Dan kita lihat ayat yang lain :

مَنْ يـُّطِـعِ الـرَّسُـوْ لَ فَـقَدْ اَطَاعَ الـلّـــهَ ج وَ مَنْ تَـوَ لـىّ فَـمَآ اَرْ سَـلْـنكَ عَــلَــيْــهِـمْ حَــفِــيْـظًا

“Barangsiapa yang menta’ati Rasul (Muhammad). Maka berarti ia telah menta’ati Allah. Dan barang siapa yang membelot. (berkhianat). Maka engkau (Muhammad) tidak KAMI utus untuk mengawasi mereka”. (Q.S. An-Nisaa’ : 80)

Dengan demikian, dapatlah kita ketahui. Bahwasanya Sunnah adalah merupakan Hujjah (pegangan) kedua. Sesudah Al-Qur-aan yang telah ditetapkan menjadi sumber Hukum bagi Islam. Wahai saudara-sauadaraku yang se-Iman ! demikian sekelumit yang menerangkan tentang dekatnya kaitan Hadits dan Al-Qur-aan. Yang kedua-duanya adalah dasar dan sumber pengambilan Hukum bagi Islam.

1. KETERANGAN SUNNAH QOULIYAH

Sunnah Qouliyah sering disebut "khabar" jadi sunnah Qouliyah itu boleh dinamakan Sunnah-Hadits-atau Khabar. Khabar itu jika ditinjau dari sudut Sanadnya, yaitu banyak sedikitnya orang yang meriwayatkannya. Untuk ini, kita dipersilahkan membaca dan mempelajari Kitab-kitab Hadits, yang pada jaman sekarang cukup banyak terdapat diberbagai Toko-toko Buku dan Kitab. Bahkan sudah diterjemahkan artinya kedalam bahasa Indonesia yang mantap.

Khabar Mutawatir :
1. Yang dimaksud dengan Khabar Mutawatir, ialah Hadits yang diriwayatkan oleh golongan demi golongan, sehingga dalam tingkatan dari sejak sahabat. Tabi’iin. Tabi’it-Tabi’it dan seterusnya. Tidak kurang dari sepuluh orang yang mendengar atau meriwayatkannya. Hingga sampai kepada perawi yang penghabisan dan menyusun Kitab Hadist, misalnya : Al-Bukhari. Muslim. Imam Malik. An-Nasa’iy. Ibnu Majah. At-Turmudzy. Abu Daud. Dan lain-lain. Khabar Mutawatir mempunyai syarat sebagai berikut :
a) Mereka yang memberi tahukan itu, benar mengetahui kenyataan dengan cara melihat atau mendengar sendiri jelas dan terang kelahirannya dari Rasul Saw.
b) Jumlah orang-orangnya harus dengan jumlah yang menurut adat tidak mungkin berbuat dusta. Tidak dengan jumlah yang terbatas, misalnya 7 atau 12 orang. Asal dapat memberikan pengetahuan ilmu dhoruri. Mau tidak mau mesti dapat diterima. (Tak dapat ditolak).
2. Mesti sama banyak rawinya dari permulaan sanad sampai akhir sanad. Misalnya lapisan pertama 100 orang. Dan dipertengahan 90 orang. Dan akhir sanadnya sebanyak 110 orang.
Yang dimaksud persamaan banyak. Bukan persamaan bilangan. Demikian sulit sebenarnya jika tidak dikaji dengan sungguh-sungguh. Mari kita lihat Hadits Nabi Saw. dibawah ini :

مَنْ كَـذَّبَ عَـلَيَّ مُـتَــعَـمِّـدًا فَــلْــيَــتَـــبَــوَّ أُ مَـقْــعَـدَ هُ مِنَ الـــنَّارِ

"Barang siapa berdusta atas Namaku. Dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari api Neraka".

Keterangan Hadits ini diriwayatkan oleh 100 orang sahabat.

مَنْ تَــقَـوَّ لَ عَـلَـيَّ مَالَـمْ أَ قُـلْ فَــلْــيَــتَــبَــوَّ أُ مَـقْــعَـدَ هُ مِنَ الـــنَّارِ

"Barang siapa mengada-adakan percakapan atas Namaku. Tentang sesuatu yang belum pernah kukatakan. Maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari (api) Neraka". (H.R. Ibnu Majah)

مَنْ قَالَ عَـلَيَّ مَالَـمْ أَ قُـلْ فَــلْــيَـتَــبَــوَّ أَ مَــقْــعَـدَ هُ مِنَ الـــنَّارِ

"Barangsiapa berkata atas namaku tentang sesuatu yang belum pernah kukatakan. Maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari Neraka"
(H.R. Al-Hakiim)
Hadits tersebut diatas, diriwayatkan oleh berpuluh-puluh Ahli Hadits yang lafaz redaksinya agak berbeda-beda. Tetapi semua makna dan artinya serupa.
Khabar Ahad :
Ialah Hadits yang Perawi-perawinya tidak mencapai syarat-syarat perawi Hadits Mutawatir diatas.
a) Hadits Masyhur, yaitu yang diriwayatkan oleh paling sedikit tiga orang.
b) Hadits ‘Aziz, yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh dua orang. Atau tiga orang dalam tingkatan itu.
c) Hadits Ghorib, yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh seorang saja, baik awal sanad maupun ditengah-tengah
Khabar Ahad jika ditinjau dari segi kualitasnya, yakni sifat-sifat orang-orang yang meriwayatkannya.
1. Hadits Shohih.
Yaitu Hadits yang mempunyai syarat-syarat berikut :
a) Sanadnya tidak terputus-putus.
b) Orang yang meriwayatkannya bersifat adil, sempurna ingatan dan catatannya, tidak suka berbuat ganjil dari orang banyak.
c) Tidak bercacat perangai dan isi Haditsnya, dengan cacat yang membahayakan kelangsungan Hadits.
d) Keadaannya tidak dibenci dan ditolak oleh ahli-ahli Hadits.
2. Hadits Hasan.
Yaitu Hadits yang memenuhi syarat Hadits Shohih.
Tetapi orang yang meriwayatkannya kurang kuat ingatannya. Disini boleh diterima, sekalipun hafalan nya kurang sempurna. Asal tidak membahayakan dan tidak berbuat ganjil dari kebiasaan orang banyak.
3. Hadits Dho’if.
Yaitu Hadits yang tidak lengkap syarat-syaratnya, yakni tidak memenuhi syarat yang terdapat dalam Hadits Shohih dan Hadits Hasan (baik).

2. KETERANGAN SUNNAH FI’LIYAH
Ialah pekerjaan Nabi Saw. yang bersifat gerakan Jiwa. Gerakan Hati. Gerakan Tubuh, seperti Bernafas. Duduk. Berjalan. Dan Cara Makan. Cara Tidur. Dan sebagainya. Perbuatan semacam ini tidak ada hubungannya dengan perintah dan larangan. Kecuali kalau ada anjuran dari Nabi Saw. untuk mengikuti cara-cara tersebut.
Perbuatan Nabi Saw. yang khusus untuk Beliau sendiri, seperti menyambung Puasa dengan tidak berbuka dan beristri lebih dari empat. Dalam hal ini orang lain tidak boleh mengikutinya.
Pekerjaan yang bersifat menjelaskan Hukum yang Mujmal, seperti Sholat. Puasa Bulan Ramadhan. Melaksanakan ibadah Hajji. Dan yang menjelaskan kewajiban bagi ummatnya, sebagai contoh di bawah :

صَــلُّـوْ ا كَــمَا رَ أَ يْــتُــمُـوْ نـِـيْ أُ صَــلِّى

"Sholatlah sebagaimana kamu lihat aku Sholat".(H.R. Bukhari)

3. KETERANGAN SUNNAH TAQRIRIYAH

Ialah diamnya Nabi Saw. Ketika Beliau melihat sesuatu perbuatan para Sahabat. Baik mereka kerjakan dihadapan Nabi Saw. maupun dibelakang Nabi Saw. dan disampaikan beritanya kepada Beliau.
Maka perbuatan atau perkataan yang didiamkan oleh Nabi Saw. tersebut, sama saja dengan perbuatan atau perkataan Nabi Saw. sendiri, yaitu dapat dijadikan Hujjah (Pegangan) bagi umat Islam seluruhnya.
Syarat-syarat Taqrir, ialah orang yang dibiarkan itu benar benar orang yang tunduk patuh kepada hukum Syara’. Bukan orang kafir atau munafiq. Contoh Taqrir antara lain :
a) Mempergunakan uang yang dibuat oleh orang kafir
b) Mempergunakan harta yang diusahakan mereka ketika mereka masih kafir
c) Membiarkan Dzikir dengan suara keras sesudah Sholat

SUNNAH HAMIYAH

Ialah sesuatu yang dikehendaki atau diinginkan Nabi Saw. tetapi belum sempat Beliau melaksanakannya. Misalnya Beliau ingin melakukan Puasa pada Tanggal 9 Muharram. Namun sebelum Nabi Saw. melakukannya, tetapi Beliau telah wafat. Walaupun keinginan itu belum terlaksana. Namun sebagian Ulama menganggap Sunnah Berpuasa pada Tanggal 9 Muharram itu, sangat baik dilakukan oleh umatnya. Sunnah ialah "Hadits". Namun ada yang mengatakan "Khabar" dan ada yang mengatakan "Atsar" Ketiganya adalah satu makna. Menurut Ahli Hadits. Ada juga yang membedakan dari ketiganya ini. Yang perlu kita teliti dengan baik. Ialah jangan sampai kita terperangkap dengan Hadits-hadits palsu. Yang sering dibuat oleh Israiliyat (Yahudi) guna untuk membelokkan umat Islam kearah yang tidak karuan. Maka sudah datang wajibnya bagi kita untuk mendekati Ahli Hadits, dan belajar Hadits-hadits yang Shohih, dari mereka-mereka yang memang Ahli dalam bidang tersebut.

18 January 2008

11. Memetik Pelajaran dari Al-Quran

Ayat-ayat Al-Qur-aan, diturunkan kepada Rasulullah Saw. ialah untuk menjadi penerangan sesuatu masalah yang pada waktu itu Rasulullah Saw belum mengetahui hukum-hukum yang diridhoi Allah SWT.
Maka ayat-ayat Al-Qur-aan diturunkan karena ada sesuatu kejadian atau pertanyaan dari para Sahabat Nabi Saw yang Nabi sendiri belum mengetahui hukumnya. Sedikit sekali ayat Al-Qur-aan yang diturunkan dengan tiada sebab. Antara lain ayat-ayat yang didahului dengan Lafaz : Yas - aluanaka, "Mereka bertanya kepadamu …… misalnya :

يَـسْــئَــلُـوْ نَـكَ عَـنِ الْخَـمْرِوَ الْـمَــيْـسِـرِ قُـلْ فِــيْــهِـمَآ اِ ثْـمٌ كَـبِـيْـرٌ وَّ مَـنَافِـعُ لـِلـنَّاسِ وَاِثْــمُـهُـمَآ اَ كْــبَـرُمِنْ نَــفْـعِـهِـمَا وَ يــَسْـئَــلُـوْ نَـكَ مَاذَايــُـنْــفِــقُـوْنَ قُــلِ الْـعَـفْـوَ كَــذلـِكَ يــُـبَــيِّـنُ الـلّــــهُ لَـكُـمُ اْلا يَـاتِ لَــعَـلَّــكُــمْ تَــتَّــفَــكَّــرُوْنَ

"Mereka bertanya kepadamu (Hai Muhammad) Tentang Minuman Khamar (Segala macam Minuman yang memabukkan). Dan Berjudi. Katakanlah ! "Ke dua macam (perbuatan itu) Dosa besar. (kalaupun ada manfa’atnya) bagi manusia. Tetapi Dosanya jauh lebih besar daripada manfa’atnya”. Dan mereka bertanya kepadamu "Apakah yang akan kami Nafkahkan ? Katakanlah ! "Al-Afwu" (apa saja yang sudah lebih dari keperluanmu). Demikianlah Allah mene rangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, supaya kamu dapat memikirkannya”.
(Q.S. Al-Baqarah : 219)

وَ يــَسْــئَـــلُـوْ نَــكَ عَـنِ الْــيَــتَـمىط قَـلْ اِصْلاَ حٌ لَّــهُـمْ خَـــيْــرٌ وَ اِنْ تُـخَالِـطَــوْ هُمْ فَـاِخْـوَا نَـكُـمْ وَ الـلّـهُ يـَـعْـلَـمُ الْـمُـفْسِـدَ مِنَ الْـمُصْـلِـحِ وَلَـوْشَآءَ الـلّـــهُ َلاَعْــنَـتَـكُـمْ اِنَّ الـلّـــهَ عَزِ يْـزٌحَكِــيْـمٌ

"Dan mereka bertanya kepadamu (Hai Muhammad). Mengenai Anak-anak yatim. Katakanlah ! "Mengurus mereka (dengan pemeliharaan, pendidikan, Serta menjaga harta pusakanya agar jangan habis percuma). Adalah baik. Dan jika kamu bergaul dengan mereka (anak yatim), maka (perlakukanlah seperti) saudaramu. Karena Allah mengetahui siapa yang berbuat kerusakan. Dan siapa yang berbuat kebaikan. Jika Allah menghendaki. Niscaya DIA dapat (memberi pengasuh kepada anak yatim), namun bisa menyulitkan kamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (Q.S. Al-Baqarah : 220)


وَ يــَسْــئَــلُـوْ نَـكَ عَنِ الـرُّوْحِ قُـلِ الـرُّوْحُ مِنْ اَمْرِرَ بِّـيْ وَ مَـآ اَوْ تـِـيْـتُـمْ مِنَ الْـعِـلْـمِ اِلاَّ قَــلِــيْـلاً

"Dan (Manakala) mereka bertanya kepadamu. Tentang Ruh. Katakanlah ! Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku. Kamu diberi pengetahuan hanya sedikiiiit" (Q.S. Al-Israa’ : 85)

Ayat tambahan dibawah ini menjadi renungan kita :

وَ لَــئِـنْ شِئْــنَالَــنَدْهَـبَـنَّ بِـا لَّذِيْ اَوْحَــيْــنَآ اِ لَــيْـكَ ثُــمَّ لاَ تَـجِـدُ لَكَ بِـهِ عَـلَــيْـنَـاوَ كِــيْـلاً. اِلاَّ رَحْـمَـةً مِّنْ رَّ بِـّـكَ اِنَّ فَـضْــلَــه كَانَ عَـلَــيْـكَ كَـبِــيْــرً ا

"Dan kalau KAMI kehendaki, niscaya KAMI hilangkan apa yang telah KAMI Wahyukan kepada engkau. Kemudian kamu tidak memperoleh pelindung". (yang membelamu dari yang KAMI rencanakan). "Kecuali hanya karena Rahmat Tuhan-mu. Sesungguhnya karunia Allah kepadamu sangat besar sekali". (Q.S. Al-Israa’ : 86 - 87)

Kita kembali kepada pelajaran semula. Ketika seorang Sahabat yang bernama Al-Ghonawi. Mencintai dan ingin mengikat perkawinan dengan Wanita Musyriq. Maka ia mohon izin kepada Rasulullah Saw dan ketika itu Rasulullah Saw tidak dapat memberikan jawaban. Karena belum ada hukum yang menetapkan hal itu. Maka turunlah ayat :

وَ لاَ تَــنْـكِـحُـوا الْـمُـشْـرِكـتِ حَــتى يُــؤْ مِنَّ وَ لا َمَـةٌ مُّـؤْ مِــنَــةٌ خَــيْـرٌ مِّنْ مُّشْـرِكَــةٍ وَّ لَـوْ اَعْـجَــبَــتْــكُـمْ وَ لاَ تُــنْـكِـحُـوْا الْـمُشْـرِ كِــيْـنَ حَـتى يُــؤْ مِـنُـوْ ا وَ لَـعَـبْـدٌ مُّـؤْ مِنٌ خَــيْـرٌ مِّنْ مُّـشْـرِكٍ وَّ لَــوْ
اَعْجَــبَـكُـمْ اُولـــئِـكَ يَـدْعُـوْنَ اِ لـىَ الــنَّار، وَ الـلّـــــــهُ يَـدْعُوْ آ اِ لـىَ الْـجَــنَّـةِ وَ الْـمَـغْـفِـرَ ةِ بِـاِذْ نِــه وَ يــُـبَــيِّـنُ ا يـــتِــه لِلــنَّا سِ لَــعَــلَّــهُـمْ يــَـتَــذَ كَّــرُوْنَ

"Dan janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyriq, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya hamba wanita yang Mukmin itu lebih baik dari wani ta musyriq, walaupun ia sangat menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan Pria musyriq (kepada wanita-wanita Mukmin). Sebelum mereka beriman. Seorang hamba yang Mukmin lebih baik, daripada seorang musyriq, walaupun ia sangat menarik hatimu. (karena) Mereka (cenderung) mengajak ke Neraka. Padahal Allah mengajak ke Syurga serta memberi ampunan dengan Ridho-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (Perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran". (Q.S. Al-Baqarah : 221)

Didalam Al-Qur-aan terdapat beberapa macam kedudukan ayat, antara lain :

1. Ada perintahnya jelas, tetapi caranya tidak jelas

وَ اَ قِــيْـمُوا الـصَّـلـو ةَ ………
"Dan dirikan Sholat" … … … (Al-Baqarah : 43)

2. Ada perintahnya jelas, tetapi ukurannya tidak jelas.

وَ اَ تُـوا الـزَّ كــو ا ةَ ………
"……… Dan keluarkanlah Zakat ………”

3. Ada yang tempatnya terang, misalnya tentang menyapu muka dan tangan dalam bertayamum, tetapi batasnya tidak jelas, sampai dimana yang disapu. Firman-Nya

فَــتَــيَــمَّـمُوْاصَـعِـيْـدً اطَــيِّــبًافَـامْسَحُـوْا بـِـوُجُـوْ هِكُمْ وَ اَ يْـدِ يْـكُمْ مِّــنْـــهُ

"Maka bertayamumlah dengan Tanah yang suci. Maka sapulah mukamu dan Tanganmu dengan tanah itu". (Q.S. Al-Maidah : 6)

Jika kita menemui ayat-ayat semacam ini, maka perlu sekali adanya penjelasan lebih lanjut. Penjelasan tersebut tidak ada yang berhaq memberikannya. Kecuali Nabi Muhammad Saw. Jika kita tidak bertemu dengan junjungan Alam yaitu, Nabi Muhammad Saw. karena telah berlangsung 1415 Tahun yang lalu. Tetapi banyak Hadits-hadits Beliau pada jaman sekarang sangat mudah mendapatkannya di Toko-toko Buku.
Kendatipun telah kita dapatkan Kitab atau Buku-buku yang berkaitan dengan Hadits-hadits Rasulullah Saw. Namun kita masih memerlukan para Tabi’in. Ta bi’it-Tabi’ihim. Para ‘Ulama. Para Ustadz. Para Mursyid. Yang ahli untuk menerangkan keadaan Hadits-hadits tersebut, agar lebih jelas dan gamblang dalam melaksanakan anjuran yang berada didalam Hadits-hadits tersebut.

تَــرَ كْتُ فِــيْـكُـمْ أُ مْرَ يْـنَ، لَـنْ تُــضِلُّـوْا. مَاتَــمـَسـَّــكْـــتُـمْ بِـــهِـمَـا، كِــتَـابَ الـلّـــهِ وَ سُـــنَّـــةَ رَسُــوْ لِ الـلّـــــهِ

"Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegang dengannya, yaitu Kitabullah (Al-Qur-aan) dan Sunnah Rasulullah. Saw. (H.R. Muslim)

اَلـعِـلْـمُ خَـزَا ئِــنُ مُـفَا تِــيْحُـهَاالسُّــؤَ الِ فَاسْـئَــلُـوْا فَـإ ِنَّــهُ يـُـؤْ جَـرُ فِــيْــهِ أَرْ بَــعَـةٌ ، اَلـسَّـائِــلُ وَ الْـعَـالِـمُ وَ الْـمُسْـتَـمِـعُ وَ الْـمُحِبُّ لَــهُمْ

"Ilmu itu (adalah) Gudang. Kuncinya adalah bertanya. Maka bertanyalah. Sesungguhnya padanya diberi pahala empat orang, yaitu Penanya. Orang yang berilmu. Pendengar. Dan orang yang senang kepada mereka". (Ibnu ‘Abdil Baar. Hadits dari Abu Dzaar)

فَـاسْــئَــلُـوْ ا اَهْـلَ الـذِّ كْـرِ اِنْ كُـــنْــتُـمْ لاَ تَــعْـلَــمُـوْ نَ

Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu pengetahuan. Jika kamu tidak mengetahui”. (An-Nahl : 43)

Demikian ini kita perbuat, karena merasa bahwa kita benar-benar kurang ilmu dalam hal ini. Dan menginginkan kebersihan dari terkontaminasi unsur-unsur lain yang masuk kedalam Hadits tersebut. Maka datang wajibnya bagi kita untuk bertanya, atau belajar kepada Ahlinya dalam mendalami Hadits. Sehingga terpelihara dengan baik Sunnah-sunnah Rasulullah Saw. yang akan kita jadikan pedoman dalam pelaksanaan seluruh Ibadah.
Demikian ini karena memperhatikan ………

… وَ اَ نـزَ لْـــنَآ اِلَـيْـكَ الَّـذِكْــرَ لِـتُــبَــيِّـنَ لـِلــنَّاسِ مَـانُــزِّ لَ اِلَــيْــهِـمْ وَ لَــعَـلَّــهُمْ يـَـتَــفَــكَّـرُوْنَ

“…………. Dan kepadamu (Muhammad) KAMI turunkan Al-Qur-aan, agar kamu terangkan kepada semua umat manusia (isi Al-Qur-aan) yang diturunkan kepada mereka. Dan supaya mereka memikirkan nya" (Q.S. An-Nahl : 44)

مَنْ تَــفَــقَّـهَ فِى دِ يْـنِ الـلّــــــــــــــهِ عَـزَّ وَجَـلَّ كَــفَاهُ الـلّـــــه تَــعَــلى مَا أَ هَـمَّـهُ وَرَزَ قَــهُ مِنْ حَــيْثُ لاَ يـَحْــتَـسِـبُ

“Barangsiapa memahami tentang Agama Allah ‘Az za Wajalla. Maka Allah Ta’ala akan mencukupinya terhadap sesuatu yang menjadi kepentingannya. Dan DIA (Allah) akan memberi rezeqi dari arah yang tidak diperhitungkannya”.
(Al-Khatib dalam Tarikh dari Hadits‘Abdullah Juz I)

Nabi Saw bersabda :

مَـنْ حَـمَـلَ مِنْ أُ مَّــتِى أَرْ بـَـعِـيْــنَ حَـدِ يْــثـالَـقِـيَ الـلّـــهَ عَـزَّ وَ جَــلَّ يَــوْ مَ ا لْــقِــيَا مَــةِ فَــقِــيْــهَـا عَا لِــــمًا

“Barang siapa dari umatku (sanggup) menghafal Empat puluh buah Hadits. Niscaya ia akan bertemu dengan Allah Azza Wajalla pada hari Qiyamat seba gai seorang Faqih yang ‘alim”.(H.R.Ibnu ‘Abdil Baar,dari hadits Anas bin Malik)

أَ فْـضَــلُ الــنَّاسِ الْـمُـؤْ مِنُ الْــعَـالِـمُ الَّـذِيْ إِنِ اجْــتَـــيْــجَ إِ لَـــيْــهِ نَــفَــعَ وَ إِ نِ اسْـتَــغْــنَى عَــنْــهُ أَ غْــنَى نَــفْـسَــهُ

“Seutama-utama Manusia, adalah orang Mukmin yang ‘Alim. Yang jika dibutuhkan (Tenaga/Fikirannya) maka ia berguna. Dan jika ia tidak dibutuhkan. Maka ia akan mencukupkan dirinya”. (H.R.Al-Baihaqi, dari Abu Darda sanad lemah)

اَ لْــعُــلَــمَـاءُ وَ رِ ثَـــةُ اْلأَ نــبِـــيَآءِ

“Ulama itu. Adalah pewaris para Nabi”. (H.R.Abu Daud. At-Tirmidzy. Dll)

Kedudukan orang yang ber’ilmu itu sangat tinggi pada pandangan para Malaikat dan seluruh Makhluq Allah. Sehingga mereka sibuk mendo’akan semoga Allah mengampuni dosa-dosa mereka :

يَــسْــتَــغْــفِـرُ لـِلْــعَالِــمِ مَافِى ا لسَّــمـوَ اتِ وَ اْلأَ رْ ضِ

“Semua yang ada di Langit dan di Bumi memohonkan ampunan bagi orang ‘Alim (ber’ilmu) (Al-Bukhary dan Muslim. Dari riwayat Mu’awiyah)