03 March 2008

19. Rukun Sholat Tiga Belas Perkara

Yang dimaksud dengan Rukun Sholat ialah sesuatu yang membatalkan atau tidak Sah Sholat manakala Rukun itu ditinggalkan, atau ditiadakan. Rukun adalah merupakan bagian dari Sholat itu sendiri. Apabila ia tertinggal atau lupa, salah satu dari Rukun itu. Maka Sholatnya dianggap tidak Sah menurut Syara’. Rukun dimaksud ada 13 (Tiga Belas) Perkara yaitu :

1. Niat
Arti Niat tersebut ada dua :
a. Asal makna Niat artinya ialah “Menyengaja” sesuatu perbuatan. Dengan adanya Niat yaitu “unsur sengaja”, maka perbuatan tersebut dinamakan Iktiar Manusia. Bukan paksaan. Dan tempat Niat tersebut adalah di dalam Hati.
b. Niat pada Syara’ artinya ialah “Menyengaja” suatu perbuatan, karena didorong oleh keinginan sendiri dalam menyambut Undangan Allah. Dengan pelaksanaan tersebut, dengan izin Allah akan melimpahkan keridhoan-Nya. Oleh karena itu, orang yang Sholat sudah tentu “Menyengaja” di dalam Hatinya untuk melaksanakan Sholat, misalnya Berniat : “Sengaja saya Sholat Fardhu Zuhur Empat Raka’at, Karena Allah Ta’ala”. Dan pelaksanaan Niat ini bersamaan dengan Takbirotul Ihram. Demikianlah seterusnya untuk setiap macam Sholat. Serta ditentukan Sholat wajib atau Sholat Sunat dalam berniat tersebut. Karena mematuhi Perintah Allah semata-mata. Dan merenungi ayat-Nya :

وَ مَـااُمِرُوْآ إِ لاَّ لــِـيَــعْــبُـدُوْاالـلّـــهَ مُـخْـلِـصِـيْـنَ لَــهُ الـدِّ يـْـنَ

“Padahal mereka hanya disuruh untuk menyembah Allah. Mengikhlaskan Agama kepadaNya” (mengharap Ridho-Nya)”. (Q.S. Al-Anbiyaa’ : 5)

Niat dalam seluruh Ibadah diungkapkan di dalam Hati. Maka tidak cukup jika hanya disebutkan pada lisan saja. Dengan melafazkan Niat itu semua dikerjakan hanya untuk mendorong Hati agar tetap dalam posisi Niat, ia tidak berobah. Dan tidak boleh berbeda kerja Hati dengan ucapan lisan, maupun perbuatan.
Niat wajib tetap, selama melakukan pekerjaan itu. Jika ditengah-tengah Sholat ia berniat untuk keluar atau membatalkan Sholat, maka batallah Sholatnya. Haqikat Niat itu, menuju sesuatu hal, bersamaan dengan perbuatan. Maka apabila terdahulu atau terkemudian perbuatan dengan yang dituju. Maka tiada sah Niatnya.

إِنَّــمَا اْلأَ عْــمَالُ بِـالـنِّـــيَاتِ، وَ إِ نَّـــمَـا لـِكُــلِّ امْـرِ ئٍ مَا نَـــوى

“Sesungguhnya segala sesuatu perbuatan tergantung kepada Niatnya. Dan setiap manusia akan mendapat sekedar apa yang diniatkannya”. (H.R. Bukhari & Muslim)

Menurut Kitab Kuno Syarat Niat itu ada tujuh.
1. Niat tempatnya adalah di dalam Hati. Bukan dibibir.
2. Islam.
3. Mumayiz yaitu yang sanggup membedakan buruk atau baik.
4. Ber’Akal sehat.
5. Membedakan Qodho-an atau Ada-an.
6. Muqoronah Niat pada awal Takbir, dari Alif Allah hingga Roo Akbar.
7. Jangan berobah Niat.

Menyangkut Niat ini, Ibnul Qoyyim menerangkan : “Niat itu adalah maksud dan keinginan untuk melaksanakan sesuatu. Dan tempat Niat itu di dalam Hati. Tidak ada hubungannya dengan Lidah sama sekali”.
Selanjutnya baik sekali kita jelaskan. Bahwa mengenai hukum Niat itu, telah sepakat seluruh Ulama Islam dan sepakat Mazhab yang Empat, menetapkan wajibnya pada Sholat yang lima waktu maupun yang Sunat. Jadi setiap Sholat mesti ada Niat. Apabila Niat ini tertinggal maka batallah Sholatnya. Golongan Syafi’i dan Maliki sefaham, bahwa Niat itu adalah menjadi Rukun Sholat. Sementara Golongan Hanafiyah dan Hanabillah menyatakan bahwa Niat itu adalah termasuk syarat-syarat Sah Sholat. Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, yang pasti bahwa Niat itu hukumnya wajib. Tidak Sah Sholat seseorang jika tidak dibarengi dengan Niat.

Barangkali masih ada sebagian orang yang masih kesulitan dalam hal ini. Akan tetapi yang penting bahwa seseorang yang Sholat adalah menghadap kepada Hadirat Pencipta Alam semesta. Tidak Sah seseorang yang Beribadah dalam keadaan lalai.
Syafi’iyah : “Cara berniat”, bahwa menghadirkan Hati dalam Sholat yang hendak dilaksanakan itu dan hadir pula dalam Fikirannya bahwa Sholat itu mempunyai gerakan Berdiri, Rukuk, I’tidal, Sujud, Duduk dan Bacaan. Jika yang demikian itu ia pertahankan, maka hal itu dapat membantu orang tersebut untuk khusu’ kepada Tuhannya. Semua ini diisyaratkan agar bersamaan dengan bagian manapun dari Takbirotul Ihram.
Alasannya jelas, yaitu agar supaya Upaya dan Ikhtiar menghadirkan Sholat dalam Hati (Istihdar Ash Sholah) bersamaan dengan awal bagian dari Sholat itu sendiri, sehingga ia akan membantu orang yang Sholat untuk bisa khusu’ dalam beribadah. Demikian pendapat Imam Syafi’i. Semoga bisa menjadi perhatian buat kita dalam metoda ingin khusu’ dalam beribadah.

2. Berdiri Betul
Rukun Sholat yang kedua ialah Berdiri betul setiap manusia yang melaksanakan Sholat bagi yang sanggup. Bagi orang yang tidak sehat maka boleh dengan duduk. Sekiranya tidak bisa duduk, maka dibolehkan dengan berbaring, dibolehkan berbaring menelentang kemudian dengan isyarat mata. Demikian kerasnya anjuran Sholat tersebut. Yang penting Sholat wajib di dirikan, selagi masih ada Iman di dalam dadanya, terkecuali orang gila atau yang hilang akal. Atau orang yang sudah Mati. Rasulullah Saw. bersabda :

صَــلَّى قَـائـِـمَـا، فَــإِنْ لَــمْ تَــسْـــتَــطِـــعْ فَــقَـاعِـــدًا، فَــإِنْ لَــمْ تَــسْــتَــطِـــعْ فَـــعَــلَى جَـــنْــبِ

“Sholatlah dengan berdiri. Kalau tidak sanggup maka dengan duduk. Kalau tidak sanggup. Maka dengan berbaring”. (H.R. Al-Bukhari)

مَـنْ صَـلَّى قَـائـِـمًـا فَــهُـوَ أَ فْـضَـلَ وَمَنْ صَـلَّى قَـاعِـدًا فَــلَـهُ نـِصْفُ أَجْـرِالْــقَائـِـمُ وَ مَنْ صَــلَّى نَــا ئـِــمًـافَــلَــهُ نـِصْـفُ أَجْـرِ الْــقَـاعِــدِ

“Barangsiapa Sholat berdiri, maka itulah yang lebih Afdhol. Dan barangsiapa yang Sholatnya duduk, maka baginya seperdua dari pahala orang yang Sholat dengan berdiri. Dan barangsiapa Sholatnya berbaring, akan mendapat pahala seperdua dari pahala yang Sholatnya dengan duduk”. (H.R. Al-Bukhari)

Adapun bagi orang yang tidak sanggup berdiri melaksanakan Sholat, maka terpaksa dengan duduk atau berbaring. Maka pahalanya sama dengan orang yang Sholatnya berdiri.

إِذَا مَرِضَ الْـعَــبْـدُ أَوْسَـافَـرَ كَـــتَـبَ الـلّـــهُ لَـــهُ مَـاكَـانَ يَـعْـمَـلَــهُ وَ هُـوَ صَحِــيْــحٌ مُــقِــيْــمٌ

“Apabila sakit seseorang hamba atau ia sedang musafir. Dituliskan Allah baginya apa yang di‘Amalkannya, seperti waktu ia sehat atau bermuqim (tidak bepergian)”. (H.R. Al-Bukhari)

Syarat Berdiri betul ialah hendaklah berdiri lurus. Jangan sampai condong tulang belakangnya. Agar diketahui, metoda yang menunjukkan syaratnya dan akan ditempatkan pada setiap pelajaran Rukun Sholat adalah Metoda Kitab yang sudah ratusan tahun usianya. Sehingga kulit sampulnya tak terbaca lagi, siapa pengarang dan penerbitnya kita tidak tahu.

3. Takbiratul Ihram
Rukun Sholat yang ketiga ialah Takbiratul Ihram. Ada juga yang menyebutnya dengan Takbir Iftitah, yaitu membaca dengan lisan kalimat “Allahu Akbar”. Ini berdasarkan Sabda Rasulullah Saw :

مِــفْــتَـاحُ الـصَّــــــــلاَ ةَ الْــوُ ضُــوْءَ، وَ تَــحْـرِ يْــمُــهَـاالـتَّـــكْــبِــيْــرُ، وَ تَـحْـلِــيْــلُـــهَا السَّـــلِــمَ

“Kunci Sholat itu ialah Wudhu’. Dan memulainya dengan Takbir. Dan selesainya (penutupnya) dengan Salam”. (H.R. Abu Daud)

كَانَ رَسُـوْ لُ الـلّـــهِ صَــلَّى الـلّـــهُ عَـلَــيْــهِ وَسَــلَّـمَ، إِذَا اسْــتَــفْـــتَــحَ الصَّـــــلاَ ةَ اَسْــتَـــقْـــبَـــلَ الْــقِـــبْــلَــةَ وَ رَ فَــعَ يَــدَ يْـــهِ ، وَ قَالَ : اَ لـلّـــهُ أَ كْــبَــرُ

“Rasulullah Saw. ketika memulai Sholat. Beliau menghadap ke Qiblat. Kemudian mengangkat kedua tangan dan mengucapkan “Allahu Akbar”. (H.R. Ibnu Majah)

Syarat-syarat Takbiratul Ihram itu sepuluh :
1. Memelihara hurufnya. Jangan kurang atau lebih dari delapan huruf.
2. Memelihara I’robnya. Nahwu dan Shorofnya (Tata bahasanya).
3. Memelihara Tasydidnya.
4. Memelihara Tertibnya.
5. Berturut-turut. Tidak boleh putus dalam melafazkannya, seperti Allah - Akbar.
6. Takbir itu tatkala setelah betul berdirinya, bagi orang yang tidak ‘Uzur.
7. Jangan diucapkan seperti ada huruf “waw” setelah huruf “Ha” seperti Allahu wakbar
8. Jangan menambah Tasydid atau Mad-nya.
9. Jangan menambah huruf Alif sesudah huruf Roo. Seperti Allahu Akbaro
10. Hendaklah nyata delapan huruf itu pada lidahnya.

Masalah “Takbir” dibarengi dengan “Niat” ini, sering kita dapati kesalahan kesalahan. Itu semua terjadi, karena kurang mau belajar, atau malu belajar, karena merasa diri sudah Fasih dan Pandai. Lalu ia Sholat tanpa belajar, alias ikut-ikutan saja. Dan kita akui, bahwasanya ada orang yang bijak dalam hal ini. Oleh karena itu, dianjurkan kepada kita agar belajar. Jangan beribadah asal-asalan saja, alias semrawut tanpa bimbingan. Yang pada akhirnya Anda juga yang terkena Sanksi masuk ke dalam Neraka.
Ada juga orang berniat Sholat itu, ketika ia bergerak mau berwudhu', yakni ketika bangun dari duduknya maka tergerak hatinya “Aku mau Sholat Zuhur”, umpamanya. Maka ia langsung berwudhu', kemudian melangkah ke tempat Sholat. Mengambil Sajadah, lalu mengangkat Takbir. Tidak perlu berniat lagi disitu ……
Jika direnungkan, maka terjadi dua hal yang menghempang Niatnya. Niat pertama ketika ia mau Sholat Zuhur, tetapi ia pergi ke kamar mandi lalu berwudhu'. Dan setelah itu ia masih memakai Niat yang pertama tadi, namun ia melangkahkan kaki, untuk mengambil Sajadah atau alas untuk Sholat. Renungan itu kita ikuti. Maka kita akan bertanya : Yang mana yang benar dalam masalah ini ?
Maka tanpa disengaja kita sudah menyelewengkan Niat yang Pertama. Maka untuk meluaskan Faham tentang hal ini, baiklah kita telusuri berbagai pendapat para pakarnya dalam bidang ini. Disini Penulis kutipkan dari Kitab “40 Masalah Agama”. Karangan K.H. Sirajuddin’Abbas. Juz I Halaman 218. Cetakan ke 17. Pustaka Tarbiyah Jakarta terbitan tahun 1994.
Adapun arti Niat dalam bahasa ‘Arab, ialah sengaja atau sengaja dalam Hati. Arti ber-Niat itu ialah “Menyehaja dalam Hati”. Menurut istilah Agama ialah :

قَــصْــدُ الـشَّــيْ ءٍ مُــقْـــتَـــرِ نًـا بِـــفِــــعْـــلِــــهِ

“Menyehaja memperbuat sesuatu serempak dengan memperbuat sesuatu itu”.

Arti “Serempak” adalah sama-sama atau bersamaan. Niat sengaja dalam hati itu dengan melakukan perbuatan yang diniatkan itu. Tidak didahului oleh sesuatu, dan tidak dikemudiankan oleh sesuatu dari ‘amalan yang dikerjakan saat itu.
Definisi atau Ta’rif yang serupa ini, banyak diterangkan dalam Kitab-kitab Fiqih yang Mu’tamad. Yang menjadi pegangan dari dahulu hingga sekarang. Di antaranya dalam Kitab “Qoliyubi” :

أَ لـنِّـــيَّــةُ شَـرِعًا قَـصْـدُ الـشَّـيْ ءٍ مُـقْــتَــرِ نًــا بِــفِــعْــلِـــهِ

“Niat itu menurut Syari’at Islam ialah “Menyehaja memperbuat sesuatu. Diserempakkan dengan memperbuat sesuatu itu”.
( Kitab : Qoliyubi Juz I halaman 140)

Dan tersebut di dalam Kitab “I’natut-Tholibiin” :

أ مَّاشَرْ عًافَــهُـوَ قَـصْـدُالـشَّـيْءٍ مُـقْــتَـرِ نًـا بِــفِــعْـلِـهِ ، أَ يْ قَـصْدُ الشَّـيْءٍ الَّـذِيْ يُـرِ يْـدُ فِـعْـلَــهُ حَالَ كُـوْنِ ذلـِكَ الْـقَـصْدِ مُـقْــتَـرِ نًـا بِــفِــعْــلِ ذ لـِكَ الـشَّــيْ ءٍ

“Adapun yang dikatakan Niat menurut Syara’. Ialah Menyehaja berbuat sesuatu serempak dengan melaksanakan sesuatu itu yakni menyehaja mem perbuat sesuatu yang dikehendaki untuk dibuat. Dan sengaja itu diserempakkan dengan perbuatan sesuatu itu”.
(Kitab I’natut-Thilibiin. Juz I halaman : 136)

Kedudukan Niat dalam Ibadah Syari’at Islam, sangatlah penting, sehingga kadang-kadang menentukan Sah atau Tidaknya sesuatu Ibadah yang dikerjakan.
Baik juga kita ketahui, bahwa pekerjaan Ibadat banyak yang serupa dengan pekerjaan “Adat” kebiasaan manusia. Dan bahkan antara Ibadat dengan Ibadat, banyak pula yang serupa. Oleh karena itu dibutuhkan “Niat” dalam Hati untuk menjelaskan atau untuk menentukan, apakah pekerjaan yang kita perbuat itu adalah Ibadat atau hanya pekerjaan “Adat”. Contohnya :
1. Gerak Sholat. Apakah sama dengan gerakan Sport atau Senam ?
2. Puasa menahan Makan. Apakah sama dengan Diet menurut Dokter ?
3. Mandi yang semata-mata hanya untuk membersihkan tubuh. Apakah sama dengan Mandi Junub atau Mandi Wajib yang ada kitannya dengan Ibadah ?
4. Duduk di Masjid untuk I’tikaf. Apakah sama dengan duduk di Masjid untuk istirahat ?
5. Memberikan Zakat. Apakah sama dengan memberikan harta untuk hadiah ? atau apakah sama dengan mengeluarkan harta untuk maksiat ?
6. Pergi melaksanakan Ibadah Haji ke Mekkah. Apakah sama dengan pergi ke Mekkah untuk Tour atau Tamasya ? dan pergi ke Mekkah untuk berdagang ?
7. Bertabligh. Menyampaikan hukum Agama. Apakah sama dengan berpidato orang menjual obat ?
8. Menulis Kitab-kitab Agama. Apakah sama dengan menulis Buku-buku Porno atau menulis Puisi dan Pantun ?
9. Mengajarkan Agama. Apakah sama dengan mengajar AlJabar / Matematika ?

Maka timbullah pertanyaan dari kita. Bila waktunya “Niat” itu dipasang ? Tegasnya dalam melaksanakan Sholat. Apakah Niat itu mesti serempak dengan Takbir, atau boleh terdahulu dan boleh dikemudiankan dari Takbir ?
Hukum dalam Mazhab Asy-Syafi’i telah menetapkan bahwa “Niat” itu mesti serentak dengan permulaan Sholat. Tidak boleh terdahulu atau dikemudiankan.
Menurut hukum dalam Mazhab Syafi’i. “Niat” Sholat itu mesti harus bersama-sama dengan Takbiratul Ihram. Dengan kata lain, dimasukkan ke dalam perkataan “Allahu Akbar”.
Umpamanya dalam melaksanakan Sholat Subuh. Pada ketika tangan bergerak ke atas. Mulut membaca “Allahu Akbar”. Mesti di“Niat”kan di dalam hati “Sengaja Aku Sholat Subuh dua raka’at, karena Allah”. Demikian pula dalam melaksanakan Sholat Zuhur. Mesti di“Niat”kan dalam hati “Sengaja aku Sholat Zuhur empat raka’at karena Allah”. Demikian seterusnya terhadap Sholat-sholat yang lainnya.
Itulah yang dinamakan dalam istilah Fiqih ”Wajib Muqoronah” yaitu wajib dilakukan serentak. Niat tidak boleh dilakukan terdahulu atau terkemudian dari ‘Amalan itu. Karena kalau terdahulu atau terkemudian, maka kita menjadi pendusta.
Umpamanya kita turun dari tangga rumah, hendak pergi melaksanakan Sholat Subuh ke Masjid. Lantas kita katakan dalam hati “Aku sengaja Sholat Subuh karena Allah”. Padahal katika itu kita baru mau berjalan menuruni tangga. Bukan sedang mau melaksanakan Sholat. Jika kita lakukan Niat itu dibelakang Sholat. Itu juga dusta. Umpamanya kita sudah pulang ke rumah, setelah kita Sholat di Masjid. Namun kita katakan dalam Hati ”Aku sengaja Sholat”. Padahal kita sudah duduk-duduk di dalam rumah. Apakah itu tidak dusta ? Demikian pendapat “K.H. Sirajuddin’Abbas”.

Semoga dengan pelajaran yang sedikit ini, bisa mengingatkan kita untuk menambah pelajaran yang lebih dalam. Demi untuk menata Agama yang kita cintai. Agar dalam melaksanakan Sholat bisa lebih mantap dan khusu’. Dalam hal khusu’ pada pelajaran mendatang akan kita rangkum pada kolom Berdiri betul dibarengi dengan Niat. Semoga Allah masih memberi keberkahan dengan usia yang masih ada.

4. Membaca Al-Fatihah
Membaca Al-Fatihah merupakan Rukun yang ke-Empat dalam Sholat. Dan akan berlanjut kepada setiap raka’at diwajibkan kita membaca Al-Fatihah. Baik Sholat wajib maupun Sholat sunat. Rasulullah Saw. bersabda :

لاَ صَــلاَ ةَ لــِمَـنْ لَـمْ يَــقْــرَ أَ بِــفَا تــِحَــةِ الْـكِـــتَـابِ

“Tidak Sah Sholat bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah”. (H.R. Bukhari - Muslim dan yang lain)

مَنْ صَـلىَّ صَـلاَ ةً لَـمْ يـَـقْـرَ أَ فِــيْــهَـا بِـأُ مِّ الْـقُرْ آنِ فَـهِـيَ خِـدَ اجً غَــيْـرُ تَـــمَـامٍ

“Barangsiapa yang Sholat, tetapi tidak membaca ‘Ummul Qur-aan (Al-Fatihah). Maka Sholatnya tidak sempurna (Batal)”. (H.R. Ahmad. Al-Bukhari. Muslim)

لاَ تَـجْـرِئُ صَـلاَ ةٌ لاَ يـَـقْـرَ أُ فِــيْـهَا بِـفَاتــِحَـةِ الْـكِــتَابِ

"Sholat tidak cukup. Jika tidak di-baca Al-Fatihah”. (H.R. Ibnu Khuzaimah. Ibnu Hibban. Abu Hatim. Darooquthny)

Ayat Al-Fatihah itu ada tujuh. Dan “Bismillahirrohmaanirrohiim” adalah salah satu dari ayatnya. Rasulullah Saw. Bersabda :

إِذَا قَـرَ أُ تَــمُ الْحَـمْـدُ فَـاقْـرَ ءُوْا لبِـــسْـمِ الـلّـــهِ الــرَّحْـمـنِ الـرَّحِـــيْـمِ إِ نَّــهَا أُ مُّ الْــقُــرْ آنِ وَ أُ مُّ الْــكِــتَـابِ وَ السَّــبْـعُ الْـمَــثَـانـِى وَ لبِــسْــمِ الـلّــهِ الـرَّحْـمنِ الـرَّحِـيْـمِ آ يــَـةٌ مِنْــهَا أَوْ قَالَ هِيَ إِحْدَى آ يَـا تــِهَا

“Apabila kamu membaca Al-Hamdu. Maka bacalah “Bismillahir-Rohmaanir-Rohiim”. Fatihah itu adalah ‘Ummul Qur-aan dan ‘Ummul Kitab. Dan Sab’ul Matsani (tujuh ayat diulang-ulang). Dan “Bismillahir-Rohmaanir-Rohiim Itu adalah salah satu dari ayatnya. (H.R. Daroquthny)

Syarat membaca Al-Fatihah itu ada delapan :
1. Memelihara segala Kalimahnya.
2. Memelihara segala Hurufnya.
3. Memelihara segala I’rofnya. (Nahwu -Tata Bahasanya)
4. Memelihara segala Tasydidnya.
5. Memelihara Al-Fatihah itu. Tatkala berdiri bagi yang tidak ‘Uzur.
6. Berturut-turut. (Teratur rapi dari dari awal hingga akhirnya)
7. Mengerti bahwa dari awal permulaan Al-Fatihah hingga akhirnya adalah Fardhu di dalam Sholat.

5. Ruku' dengan Thuma'ninah
Ruku’ adalah Rukun kelima dalam Sholat. Ruku’ artinya ialah membungkukkan badan, hingga punggung menjadi datar dengan leher. Dan kedua belah tangannya memegang tempurung lutut. Sedang kakinya berdiri biasa. Dan mata kita tetap memandang ke arah tempat Sujud.
Thuma’ninah artinya ialah berhenti sejenak, paling sedikit sampai anggota-anggota badan berada dalam keadaan benar-benar Ruku’. Ruku’ ialah membungkukkan badan, sehingga kedua tangan mencapai lutut. Akan tetapi tata cara dan tata sopan-santunnya, disunatkan dalam Ruku’ itu menyama-ratakan kepala dengan tulang pinggul. Kedua tangan bertelekan kepada kedua tempurung lutut. Dan mengembangkan jari-jari tangan di atas lutut tersebut.
Ruku’ ini menjadi Rukun Sholat berdasarkan kepada Sabda Nabi Saw :

كَانَ إِذَارَ كَــعَ لَـمْ يـُشَـخِصْ رَ أْ سَــهُ وَ لَــمْ يـُصَـوِّ بْــهُ ، وَ لـكِـنَّ بَــيْـنَ ذلـِكَ

“Adalah Nabi, apabila Beliau Ruku’ tidak ditonjolkannya kepalanya ke atas. Dan tidak pula dibungkukkannya ke bawah. Tetapi pertengahan di antara kedua hal tersebut”. (H.R. Ahmad dan Abu Daud)

كَانَ رَسُـوْ لُ الـلّـــهِ صَــلَّى الـلّـــهُ عَــلَـــيْــهِ وَسَــلَّـمَ إِذَ ارَ كَــعَ ،لَــوْ وَضَـعَ قَـدَ حٌ مِنْ مَاءٍ عَـلَى ظَــهْــرِ هِ لَــمْ يُــهْــرَ قُ


“Adalah Rasulullah Saw. apabila Ruku’ , jika diletakkan gelas yang berisi air di atas punggung beliau. Maka tidaklah ia akan tumpah”. (H.R.Ahmad dan Abu Daud)

لاَ تَـجْـزِئُ صَـلاَ ةٌ لاَ يـَــقِــيْـمُ الـرَّجُـلُ فـِيْــهَاصُـلْــبِـهِ فِى الـرُّ كُــوْعِ وَ الـسُّــجُــوْ دِ

“Sholat tidak cukup. Bila seseorang tidak meluruskan punggungnya di waktu Ruku’ dan Sujud”. (H.R. Bukhari. Muslim. Abu Daud. An-Nasa’iy.At-Thur mudzy)

Hadits yang lain mengenai tentang Thuma’ninah :

ثُــمَّ ارْ كَــعْ حَــتَّى تَــطْــمَــئِــنَّ رَ ا كَـــعًا

“Kemudian Ruku’lah sehingga Thuma’ninah”. (H.R. Bukhari. Muslim. Abu Daud. An-Nasa’iy. Ath-Thir midzy. Ahmad. Ibnu Majah)

Ada juga orang kita lihat dalam melaksanakan Ruku’ ini, sering meletakkan telapak tangan pada tulang keringnya. Maka perhatikanlah keterangan Hadits di atas dengan sebaik-baiknya, agar tidak terjerumus ke Neraka hanya dengan kelalaian yang sedikit. Renungkanlah …..

Syarat Ruku’ itu ada tiga :
1. Disengaja hendak ditundukkan. Bukan karena terkejut atau refleks.
2. Membungkuk sekira-kira sama rata pinggang dengan leher.
3. Melaksanakan Niat dengan baik. (Thuma’ninah)

6. I'tidal
I’tidal artinya ialah bangun dari Ruku’ dan kembali tegak lurus disertai Thuma’ninahnya. Sehingga lurus kembali ruas tulang punggung seperti sebelum Ruku’. Demikian ini berdasarkan keterangan Abu Humaid mengenai sifat Sholat Rasulullah Saw :

وَ إِذَارَ فَـعَ رَ أْسَـهُ اَسْــتَـــوى قَائِــمًاحَــتَّى يَــعُـوْدَ كُـلُّ فَــقَارِ إِ لَى مَكَا نِـهِ

“Dan jika Beliau mengangkat kepalanya. Maka Beliau-pun berdiri lurus hingga kembali setiap ruas tulang punggung ke tempatnya semula”. (H.R. Al-Bukhari & Muslim)

Pada Hadits yang lain Rasulullah Saw Bersabda :

ثُــمَّ ارْ فَــعْ حَــتَّى تَــعْــتَــدِ لُ قَا ئِــمًا

“Kemudian angkatlah kepala, sehingga kamu berdiri tegak lurus”. (H.R. Bukhari. Muslim. Ahmad. Abu Daud. An-Nasa’iy. At-Thirmidzy. Ibnu Majah)

Syarat-syarat I'tidal itu ada empat :
1. Disengaja hendak bangun. Bukan terkejut atau refleks.
2. Setelah berdiri betul. Baru membaca “Robbana Lakal hamdu ………”.
3. Sadar bahwa yang dihadapnya adalah Allah SWT.
4. Thuma’ninah dengan benar.

Banyak kita dapati manusia yang ketika melaksanakan Sholat dengan perasaan malas. Terlebih lagi Sholat sendirian, terlihat saat mereka bangkit untuk I’tidalnya, mereka bangun dari Ruku’ dengan berat dan malas, seakan-akan tubuhnya lunglai tidak bertulang. Mereka Sholat serasa dipaksakan. Sehingga mereka mereka merasa sangat keberatan melaksanakannya. Tidak terfikir olehnya bahwa Sholat itu adalah kebutuhan baginya. Dan yang disembahnya adalah Allah SWT. Yang Menciptakan dirinya. Yang Menumbuhkan dirinya. Yang Memberi ‘Akal kepada dirinya. Selanjutnya Allah jua Yang Memberi segala Nikmat kepadanya. Nikmat tersebut ada yang sampai mengantarkannya ke dalam Surga yaitu Nikmat Iman dan Islam. Tetapi yang namanya manusia, mudah pelupa. Mudah lalai ………

7. Sujud dua kali dengan Thuma'ninah
Sujud tersebut adalah Rukun Sholat. Dan anggota Sujud itu ada tujuh macam yaitu Muka, Dua Telapak Tangan, Dua belah Lutut dan Dua Telapak Kaki. Berdasarkan :
يـآ اَ يـُّـهَـاالَّـذِيـْنَ امَـنُـوْااَرْ كَعُوْاوَاسْجُـدُوْاوَاعْـبُدُوْارَ بَّكُمْ وَ افْــعَــلُــوْا الْـخَــيْـرَ لَــعَــلَّــكُـمْ تُــفْــلِـحُــوْ نَ

“Hai orang-orang yang Beriman ! Ruku’lah dan Sujudlah. Sembahlah Tuhanmu. Serta kerjakanlah kebaikan. Agar kamu mendapat kemenangan”. (Q.S. Al-Hajj : 77)

Ibnu ‘Abbas Ra. berkata :

أََمَرَ الـنَّـبِـيُّ صَـلَّى الـلّـــهُ عَـلَــيْـهِ وَ سَــلَّمَ أَنْ يـَسْـجَـدَعَـلَى سَــبْـعَـةِ أَعْضَاءٍ وَ لاَ يـَكُــفَّ شَــعْـرًا وَ لاَ ثَـــوَا بًـا: ا لْـجَـــبْـــهَـــــــــــــةِ وَ الْـــيَـدَ يـْنِ وَ الـرُّ كْـــبَـــتَـــيْـنِ ، وَ الـرِّ جْــلَــيْـنِ

“Nabi Saw. menyuruh agar Sujud itu pda tujuh macam Anggota, dan supaya seseorang jangan berlapiskan Rambut atau Kainnya sewaktu Sujud itu yakni : Kening. Kedua Telapak Tangan. Kedua Lutut. Kedua Kaki”. ( H.R. Muslim dan An-Nasa’iy)

Keterangan : Kening beserta hidung harus cecah ke lantai. Karena itu adalah Wajah.
Cara Sujud yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. :

عَنْ وَ ائـِـلِ بْـنِ حُجْرٍ قَالَ : رَ أَيـتُ الـنَّـبِـيُّ صَــلَّى الـلّــــــــــــــــــــهُ عَــلَـــيْهِ وَ سَــلَّـمَ : إِ ذَ ا سَـجَـدَ وَضَـعَ رَ كْـــبَــتَـــيْــهِ قَــبْــلَ يَــدَ يْــهِ

“Wail bin Hujr berkata : “Saya melihat Nabi Saw. Apabila Beliau Sujud. Beliau meletakkan Dua Lutut nya terlebih dahulu. Sebelum kedua Tangannya”. (H.R. Al-Bukhari. Muslim. Ibnu Majah. Abu Daud. An-Nasa’iy)

Menghadapkan ujung-ujung jari ke Qiblat. Berdasarkan Hadits Abu Humaid :

أَنَّ الـنَّـبِـيُّ صَـلَّى الـلّــهُ عَـلَــيْـهِ وَسَـلَّـمَ ،كَانَ إِذَاسَجَدَوَضَـعَ يَــدَ يـْـهِ غَــيْـرِمُـفْــتُــرِشِـهِــمَـا وَ لاَ قَابِــضِــهِـمَـا، وَاسْــتَـــقْــبَــلَ بِـأَطْــرَ ا فَـأَصَابِــعِ رِجْـلَــيْـهِ الْــقِــبْـــلَـــةَ

“Apabila Nabi Saw. Sujud, Beliau meletakkan kedua tangannya tidak menghamparkannya. Tidak pula menggenggamkannya. Dan Beliau Menghadapkan Ujung Jari-jari Kakinya kearah Qiblat”. (H.R. Al-Bukhari)

Hadits yang menunjukkan kepada Thuma’ninah kita perhatikan Hadits :

إِذَاسَجَدَتَ فَـمَـكـِّنْ جَـبْــهَــتُـكَ مِنَ اْلأَرْضِ وَ لاَ تُــنْــقُــرْ نَــقْـرًا

“Apabila kamu Sujud, Letakkan Mukamu(Dahi) di tanah (tempat sujud) dan jangan mematuk (seperti Burung makan) tanpa Thuma’ninah”. (H.R. Ibnu Hibban)

Syarat Sujud ada tujuh :
1. Disengaja pada Sujudnya. Tidak terkejut dan bukan refleks.
2. Jangan berlapis dahinya tatkala Sujud.
3. Menundukkan kepalanya dengan benar.
4. Meninggikan pinggang dari bahu maupun kepala.
5. Hendaklah dahinya terhantar pada Musholla (Sejadahnya).
6. Dipanjangkannya sedikit batang lehernya.
7. Thuma’ninah yang benar.

Jika kita teliti dengan pandangan ilmu yang ada. Maka akan jelas terlihat, bahwa di dalam Sujud ini cukup banyak keunikan yang terdapat di dalam Sholat. Sebagaimana Hadits di atas menerangkan “Bahwa Sujud tersebut jangan ada berlapis atau terlapik oleh sesuatupun, termasuk rambut di kepala jangan sampai ada sesuatu materi yang bisa menghalangi dahi da lam Sujud seseorang. Wajib sama tempat kedua telapak kaki dengan dahi yang berada di kepala. Tidak boleh ada tinggi rendah dalam Sujud. Apa yang dipijak oleh kaki, itu pula yang harus dijunjung oleh kepala. Karena di sana kita diajak merenungkan diri yang Hina, Papa, Lemah dan Fakir ini. Seandainya tidak mengindahkan anjuran tersebut, maka termasuk kedalam golongan tidak mau mendengar anjuran Rasulullah Saw. ……………….
Walaupun banyak Hadits yang menyarankan bahwa jangan terlapis dahi dengan tempat Sujud. Namun dalam kenyataannya, masih banyak kita perhatikan manusia-manusia yang membawa selendang (sal), dan dengan sengaja melapiskan sal tersebut tepat di daerah tempat sujudnya. Bahkan ada satu daerah, yang sengaja membawa tanah tembikar kemana-mana. Dan di letakkannya tembikar tersebut pada tempat ia Sujud, tepat pada dahinya untuk lapis. Entah dari mana lagi ia mendapat Dalil yang demikian ini ? Walaupun masuk akal, jika kita bertanya. kemudian mereka menjawab “Kami Sujud langsung di atas tanah”. Demikian Argumen mereka.
Pendapat kita secara akal yang bagaimanapun, itu namanya sudah dianggap berlapis. Karena tidak sama tempat berpijak dengan tempat Sujud. Bukankah di bawah Sajadah itu juga tanah ? Ingatlah ! Sujud yang baik itu banyak Rahasia dan Hikmah yang dikandungnya.
Untuk itu, raihlah isi kandungan dari Sujud kita tersebut. Jangan Sujud asal-asalan saja, nanti hasilnya, ya asal-asalan juga. Sedikit renungan di bawah ini :

Rasa keadilan mengalahkan Tamak dan Rakus.
Kebenaran menumbangkan Kekuasaan Batil.
Apabila tak dapat menaklukkan Hawa nafsunya.
Berarti ia menyimpan peluru di dalam tubuhnya.
Yang akan mencelakakan dirinya sendiri.
Serta mencelakakan orang sekelilingnya.

Wahai Insan !
Kalau bukan anjuran Rasulullah Saw yang kita pakai menjadi Pedoman. Lantas anjuran siapa lagi yang harus kita jadikan Pegangan ? Apakah kita sudah lebih pandai dari Rasul ? Dan sudah merasa lebih lihai dari Nabi ? Mungkin sudah menganggap diri sudah lebih bijak dari para Anbiyaa’ ? Sekiranya sadar diri bahwa kita itu masih dalam kurun “Seperseribu dari Debu yang berada pada Tapak Kaki Nabi”. Maka ambillah Ajaran dan Anjuran Rasulullah Saw tersebut. Agar terhindar dari tergelincir ke jurang Neraka Wail.
Tetapi yang namanya manusia, ada saja ulahnya. Bahkan ingin membuat sensasi dan hal-hal yang baru. Mungkin yang lama sudah terasa usang dan jenuh melaksanakan anjuran yang telah lama ini, bahkan sudah mencapai “Seribu Empat Ratus Dua puluh Empat tahun lebih”. Sehingga dianggap sudah usang dan kumuh. Maka tumbuh keinginan manusia untuk menggantinya dengan hal-hal yang baru.

8. Duduk Antara Dua Sujud dengan Thuma'ninah
Duduk antara dua Sujud dengan Thuma’ninah artinya ialah Bangun kembali setelah Sujud yang pertama kemudian Duduk sebentar, sementara menanti untuk Sujud yang kedua.

ثُــمَّ اسْجُـدْحَــتَّى تَـطْــمَـئِـنَّ سَاجِـدًا ثُــمَّ ارْفَــعْ حَــتَّى تَــطْــمَـئِـنَّ جَـالِــسًا ثُــمَّ اسْـجُــدْ حَـــتَّى تَــطْــمَــئِــنَّ سَـاجِــدً ا

“Kemudian Sujudlah engkau, sehingga engkau tenang (diam sejenak) dalam keadaan Sujud itu. Kemudian angkat kepalamu, sehingga engkau duduk tenang sejenak (berhenti seketika). Dalam keadaan duduk itu, kemudian Sujud lagi sehingga engkau tenang, berhenti sejenak dalam keadaan Sujud itu”. (H.R. Al-Bukhari & Muslim)

Dan di dalam Sujud itu, wajib kita perhatikan kedudukan Sujud yang kita perbuat. Apakah sudah sama dengan yang dianjurkan Rasulullah Saw. ? seperti yang dikatakan pada Kalimat Hadits dibawah ini ? yaitu Sujud seluruh Tujuh Anggota Badan. Perhatikan :

أُمِرَتْ أَنْ أَسْـجُــدَ عَــلَى سَـــبْــعَــةِ أَعْــظُـمٍ ، عَــلَى الْـجَـــبْـــهَــةِ وَ أَ شَارَ بِــيَــدِ هِ عَـلَى اَ نْــفِـــهِ، وَ الْــيَـدَ يْـنِ وَ الـرُّ كْـــبَــتَـــيْـنِ
وَ أَ طْــرَ افِ الْــقَـدَ مَـيْـنِ


“Aku disuruh untuk Sujud atas tujuh anggota. Atas dahi dan Beliau menunjuk juga kepada hidung. Dan dua tangan serta dua lutut. Dan dua ujung (jari-jari) kaki”. (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

Di dalam Duduk antara dua Sujud dengan Thuma’ ninah tersebut, belum tentu mudah dan langsung enak mendudukkannya. Sebab perbuatan itu jarang kita perbuat. Maka disana akan terasa sakit pada pangkal mata kaki. Marilah kita perbaiki pelan-pelan, semoga berhasil.

Syarat Duduk antara Dua Sujud itu ada tiga :
1. Disengaja bangun dari Sujud yang Pertama. Bukan terkejut atau refleks.
2. Duduknya itu betul. Jangan condong ke muka atau ke belakang maupun ke samping.
3. Thuma’ninah (berhenti sejenak) dijaga dengan baik.

Dalam hal inipun tidak kurang keanehan-keanehan yang diperbuat oleh manusia, yaitu mereka sering miring dalam duduknya. Dan tidak tetap pada kedudukannya, ada yang terus bergoyang-goyang. Entah merasa sakit pada ruas tulang kakinya, atau memang pembawaan badan, atau memang tingkahnya. Untuk itu, wajiblah kita intropeksi diri, apakah duduk saya sudah betul ? Sebab yang kita anggap betul itu, belum tentu benar. Maka wajib extra hati-hati menjaga Sholat, agar terhindar dari kesalahan-kesalahan yang kita buat sendiri.
Sehingga Sholat tersebut mengantarkan kita ke Neraka Wail. Sebagaimana ayat menerangkan :

فَــوَ يْــلٌ لِّـلْــمُــصَــلِّــيْـنَ

“Neraka Wail bagi orang yang Sholat”

Lalai di sini ialah lalai dalam belajar. Karena kurang mau introspeksi diri. Maka ia merasa segala perbuatannya sudah benar semua. Hati-hati menjaga Amanah Allah SWT. Kiasan ini telah kita tuangkan pada halaman terdahulu.

9. Duduk untuk Tasyahud Awal
Dalil dan Syaratnya sama dengan Tasyahud akhir.

10. Membaca Tasyahud Akhir
Membaca Tasyahud atau Tahyat akhir di waktu Duduk pada raka’at yang terakhir. Dalil dalam hal ini kita perhatikan :

وَ لــِمُسْــلِـمٍ عَنِ ا بْـنِ عَــــبَّـاسٍ رَضِيَ الـلّـــــــــــهُ عَــنْــــهُــمَـا قَـالَ : كَـانَ رَسُـوْ لُ الـلّــــهِ صَــلَّى الـلّــــــهُ عَـــلَـــيْــهِ وَسَـــلَّــمَ، يُـعَـلِّـمُــنَـا الـتَـشَــهُـدَ : اَلــتَّحِــيَّـاتُ الْـمَــبَارَ كَاتُ الصَّـــلَــوَ اتُ الطَّـــيِّــبَاتُ لـِلَّــــهِ ، إِ لَى أَ خِــرِ هِ

“Dan dalam riwayat Muslim dari Ibnu ‘Abbas R.a. ia berkata : “Rasulullah Saw Mengajarkan Tahiyyat kepada kami : “Attahiyyatul Mubaarokatush-Sholawatut-Thoiyibatu Lillah”…Sampai akhirnya”. (H.R. Muslim)

Demikian tuntunan Rasulullah Saw. kepada Sahabat dan Tabi’in Wat-Tabi’ihim. Kemudian sampai kepada kita pada zaman sekarang ini. Semua kalimat yang ada di sini hanya mengingatkan bagi yang terlupa. Bukan mengajari orang yang sudah bijaksana.

Syarat Tahyat itu ada Tujuh :
1. Memelihara segala Kalimatnya.
2. Memelihara segala Hurufnya.
3. Memelihara I’robnya-Nahwu (Tata Bahasanya).
4. Memelihara segala Tasydidnya.
5. Memelihara segala Muwallahnya (berturut-turut, tidak terpotong yang lain).
6. Memelihara segala Tertibnya.
7. Memelihara Tahyat. Tatkala Duduk Tawarruq bagi yang tidak ‘Uzur.

Mohon diperhatikan ketujuh Syarat yang di atas tersebut. Sebab ia membimbing kepada kebenaran dalam melaksanakan bentuk bacaan yang kita lantunkan di setiap Sholat. Sebab lidah orang Indonesia sering terperangkap dengan Abjad Arab. Karena ia bukan bahasa sehari-hari buat kita. Yang sering terjadi ialah pada huruf “HA besar” disebut dengan huruf “ha kecil”. Kemudian huruf yang bersabdu, yakni huruf yang tidak dobel, kita ucapkan secara dobel. Ada huruf Arab yang panjangnya Tiga Alif, yakni Enam Harkat. Tetapi kita sebut hanya dengan satu harkat. Lalu yang bertasydid, dihilangkan Tasydidnya. Inilah yang menonjol kesalahan demi kesalahan yang diperbuat selaku bukan orang Arab. Semoga kita bisa menyadarinya ………

11. Membaca Shalawat atas Nabi

Yaitu setelah selesai Tasyahud akhir. Dilanjutkan membaca Shalawat atas Nabi Saw dan Keluarganya :

عَنِ ا بْـنِ مَسْـعُـوْدِرَضِيَ الـلّــــهُ عَـنْـهُ قَالَ: قَالَ بَـشِـيْـرُ ا بْـنُ سَـعْـدٍ، يَـارَسُــوْ لُ الـلّــــــــــهِ، أَ مَـرَ نَـاالـلّـــــــــهِ اَنْ نُـصَــلِّى عَـلَــيْـكَ، فَــكَـــيْـفَ نُـصَــلِّى عَــلَــيْـكَ فَسَـكَـتَ ، ثُــمَّ قَالَ قُــوْ لُــوْ ا: أَ لـلّـــهُـمَّ صَـلِّى عَـلَى مُحَــمَّـدٍ وَعَــلَى ألِ مُحَــمَّــدٍكَــمَاصَــلَّـــيْتَ عَــلَى إِ بْــرَ ا هِـــــيْـمَ ، وَ بَــرِ كْ عَــلَى مُـحَــمَّــدٍ وَ عَــلَى أ لِ مُـحَــمَّـدٍكَــمَـا بَـارَ كْــتَ عَــلَى إِ ِبْــرَ ا هِــيْـمَ، فِى الْــعَـالَــمِـيْــنَ إِ نَّـكَ حَـمِــيْــدٌ مَــجِــيْــدٌ

“Dari Abu Mas’ud R.a. ia berkata : “Berkata Basyir bin Sa’ad “Ya Rasulullah. Allah telah memerintahkan agar kami Bershalawat atas engkau, lalu bagaimana caranya kami Bershalawat atas engkau ? maka Beliau diam sejenak. Kemudian Bersabda : “Ucapkanlah oleh kamu semua. Ya Allah, semoga keselamatan dicurahkan atas Nabi Muhammad Saw Dan atas Keluarga Muhammad. Sebagaimana Engkau memberi kesejahteraan pada Ibrahim. Dan semoga keberkahan dicurahkan atas Muhammad dan Keluarga Muhammad. Sebagai mana Engkau curahkan keberkahan kepada Ibrahim. Diseluruh Alam. Engkaulah Yang Maha Terpuji dan Maha Mulia”. (H.R. Muslim)

Syarat Membaca Shalawat atas Nabi Saw. itu ada Enam :
1. Memelihara segala Hurufnya.
2. Memelihara segala I’robnya Nahwu /Tata Bahasa.
3. Memelihara segala Tasydidnya.
4. Jangan menambah Hurufnya.
5. Memelihara Muwallahnya yakni berturut-turut. Tidak boleh disunsang (dibalik-balik).
6. Tertib dalam membacanya.

Walaupun kita tidak sanggup seperti lidah orang Arab dalam versi membaca Al-Qur-aan dan Hadits. Namun tetaplah belajar, jangan merasa sudah kedaluarsa dalam masalah belajar. Seandainya sudah belajar, namun lidah kita masih saja tidak mau mantap. Maka sadar dirilah agar jangan coba-coba menjadi Imam Sholat. Sebab malah akan memudahkan bagi kita jalan ke Neraka. Terkecuali memang sudah tidak ada lagi yang Fasih dalam Jama’ah pada hari itu.

12. Mengucapkan Salam

Mengucapkan Salam yang pertama. Bila telah selesai membaca Tasyahud Akhir dan Shalawat atas Nabi dan Keluarganya, maka Beliau memberi Salam, yang wajib hanya Salam pertama :

عَنْ وَائــِلِ بْـنِحُجْـرٍ رَضِـيَ الـلّـــهُ عَـــنْــهُ قَالَ :صَـــلَّــيْتُ مَــعَ الــنَّــبِّــيّ صَــلَى الـلّــــهُ عَـــلَـــيْــهِ وَ سَـــلَّــمَ ، فَــكَـانَ يُـــسَـــلِّــمُ عَنْ يَــمِــيْـــنِــهِ : أَ لـسَّــلاَ مُ عَــلَــيْـكُـمْ وَ رَحْـمَــةُ الـلّـــــهِ وَ بَــرَ كَا تُــهُ ، وَ عَـنْ شِـمَالِـــهِ : أَ لـسَّــــلاَ مُ عَــلَـــيْــكُـمْ وَ رَحْــمَــةُ الـلّـــــــهِ وَ بَــرَ كَـا تُـــهُ

“Dari Wail bin Hujr. R.a. ia berkata : “Saya pernah Sholat bersama Nabi Saw. Dan Beliau memberi Salam ke kanannya : “Assalamu ‘Alaikum Warohmatullohi Wabarookaatuh”. Dan kesebelah Kirinya: “Assalamu ‘Alaikum Warohmatullohi Wabarokaatuh”. Artinya : “Semoga Kesejahteraan dicurahkan atas Kamu demikian pula Rahmat Allah dan Berkah-Nya” (H.R. Abu Daud)

Dari ‘Amir bin Sa’ad dari Ayahnya. Katanya :

كُـــنْتُ أَرِى الـنَّــبِـيَّ صَــلَّى الـلّــــهُ عَــلَــيْــهِ وَ سَـــلَّـمَ ، يُــسَــلِّــمُ عَــلَى يَــمِـيْــنِـهِ وَعَـنْ يَــسَار ِ هِ حَــتَّى يُــرِ ى بَـــيَا ضُ خَــدِّ هِ

“Saya melihat Nabi Saw. memberi Salam ke sebelah anan dan ke sebelah kiri. Sehingga kelihatan putih Pipinya” (H.R. Muslim. Ahmad. An-Nasa’iy. Ibnu Majah)

Syarat Salam itu ada tiga :
1. Memelihara segala Kalimatnya.
2. Memelihara segala Tasydidnya.
3. Duduk bagi yang tidak ‘Uzur.

13. Tertib
Tertib artinya berturut-turut, menurut peraturan yang telah ditentukan. Tidak boleh tunggang balik, seperti yang dahulu dikemudiankan. Dan yang kemudian didahulukan. Itu menunjukkan tidak Tertib dalam manajemennya.

Syarat Tertib itu hanya satu :
1. Jangan mendahulukan yang belakangan. Dan jangan mengemudiankan yang dahulu.
Kita diajar ber-Etika. Bersopan santun, agar tidak tunggang balik dalam segala pelaksanaan Ibadah. Lantas Ligah pugah tersungkur ke dalam Neraka Jahannam.

0 comments: